The Breens Brother

The Breens Brother
Breens Brother

Sabtu, 02 Oktober 2010

5. Steo oh Steo….

Oktober 1993

Mikey, 21 tahun; Keith, 19 tahun; Shane, 17 tahun; Stephen - Ronan, 16 tahun


    “Woy, gimana, nih, kita mo bikin apa buat ulang tahun mama?” Ronan kebingungan dengan rencana ulang tahun Ibunya.
    “Mama nggak pengen macem-macem. Dia udah seneng banget kita ngerayainnya dengan makan malam seperti biasanya,” sahut Keith tenangnya.
    “Ah, masa’ cuma gitu doang, kan nggak seru.”
    “Terus kamu pengen ngerencanain apa. Kita si, ikut aja.”
    “Yah, kalian gimana sih…”
    “Tuh, Stee pulang, kali aja dia punya rencana apa, kek,” potong Keith, begitu melihat Stephen masuk ke halaman rumah dengan diantarkan seseorang, dari jendela.
    “Dia pulang bareng Colin lagi…,” nada Keith menggantung melihat siapa yang mengantarnya. “Kalian nggak pernah pulang bareng lagi, ya?” beralih pada Ronan.
    “Dia lagi deket sama Colin, jadi ya…mereka sering pulang bareng.”
    “Oo….”
Keith berbalik dari jendela dan menuju perangkat drumnya. Ia duduk di depannnya, memainkan stik drumnya dengan terampil, kemudian mulai memainkan drum penuh semangat.
    “Woy, jadinya gimana, nih!!?” teriak Ronan kesal karena merasa tidak diperhatikan.
    “Ntar aja! Masih ada waktu dua minggu lagi kan!?” teriak Keith tak kalah kerasnya, mengalahkan suara drumnya.
    “Ah, payah!” sungut Ronan semakin kesal dan  keluar dari kamar Keith dengan membanting pintu.
Keith hanya tertawa geli melihatnya.


Ronan keluar dari kamar Keith dengan hati dongkol. Tapi begitu melihat Stephen memasuki kamarnya, wajahnya kembali cerah. Segera disusulnya Stephen masuk ke kamar.
    “Dari mana aja kamu sama Colin, pulang sekolah nggak langsung pulang?”
Wajah Stephen memerah dapat teguran Ronan yang mengagetkannya,
    “Nggak, cuma jalan aja,” berusaha menahan merah di pipinya.
    “Perasaan, akhir-akhir ini kamu selalu pulang bareng dia, ke mana dulu, sih?”
    “Nggak, nggak ke mana-mana. Nih, coklat buat kamu,” Stephen melemparkan bungkusan coklat pada Ronan, sekaligus mengalihkan pembicaraan.
Ronan menerimanya dengan senang hati dan langsung memakannya.
    “Hey, kamu ke mana dulu sama dia? Ada proyek ya? ikutan dong,” Ronan kembali ke masalah itu masih dengan mulut penuh coklat.
    “Udah, telen dulu tuh coklat, baru ngomong. Aku mandi dulu,” sahut Stephen ringan kemudian keluar dan menuju ke kamar mandi.
Ronan segera tersadar dengan niatnya untuk menanyakan rencana ulang tahun mamanya.
    “Eh, Stee. Aku mo nanya, gimana ulang tahun mama? Udah ada rencana?” seraya mengejar Stephen.
    Bentar, aku mandi dulu.”
Blam, Stephen menutup pintu kamar mandi.
    “Yah, sama aja,” rutuk Ronan sebel.
Endus…endus… Ronan mencium bau masakan yang terlihat enak. Masakan Nanny!
Nanny punya ide nggak ya, buat ulang tahun mama?’ tanya Ronan dalam hati. Ia langsung menuju menuju dapur. “Nanny!!!” teriaknya lantang, mengalahkan suara apa pun.
*

            Stephen masih bisa mendengar suara kerasnya Ronan memanggil Nanny saat ia berdiri di bawah pancuran air panas yang nikmat. Dengan memejamkan mata ia kembali teringat apa yang telah ia lakukan bersama Colin di rumah Colin. Dia menyukai Colin, jujur ia akui itu. Colin baik, lembut dan sayang padanya. Setelah beberapa kali jalan bareng, Colin mengajaknya ke rumahnya. Tak ada siapa pun di sana. Dan mereka ‘melakukannya’. Suasana rumah yang sepi mendukung mereka untuk melakukannya. Semuanya sangat indah. Colin memperlakukannya dengan baik dan lembut. Dia menyukainya.
Stephen tersenyum mengingatnya, tapi kemudian dia jatuh terduduk di lantai tanpa dapat menahan tangisnya. Ia sadar siapa dirinya sepenuhnya dan dia tidak bisa menyangkalanya lagi. Dia mencintai Colin. Dia menyukai lelaki bukan wanita yang seharusnya. Dirinya seorang gay, tentu saja Colin juga seorang gay, paling tidak itulah yang ia ketahui kenapa Colin bisa ‘melakukannya’ dengannya yang sesama lelaki. Dia bahagia Colin sama seperti dirinya dan menyambut cintanya, tapi bagaimana dengan keluarganya? Mama, papa, Mikey, Shane, Keith dan Ronan? Sampai detik ini mereka belum mengetahui tentang dirinya, padahal dia sudah menyadarinya sejak dua tahun yang lalu.
Dia masih ingat, dengan jelas, saat itu hanyalah bermula dari sebuah permainan konyol spin the bottle, Ronan juga ada saat itu. Salah satu temannya membuat tantangan dengan ciuman di bibir sesama jenis. Naasnya, mulut botol tersebut berhenti dengan mengarah padanya setelah beberapa menit berputar-putar. Layaknya permainan truth or dare, dia harus menerimanya. Maka sebuah ciuman dengan sedikit nafsu mendarat manis di bibir Stephen. Itulah pertama kalinya ia merasakan sebuah ciuman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya bahkan dari seorang gadis pun. Dia menyukainya! Dia pun masih ingat bagaimana wajah Ronan saat menyaksikannya dengan terpatung tidak percaya. Tapi dia langsung mengalihkan bahwa itu hanyalah sebuah permainan dan jangan dianggap serius. Untunglah Ronan percaya, dan tawanya langsung meledak dengan memberi salut padanya karena berani melakukannya. Tapi sejak hari itu dirinya bimbang. Bagaimana ia bisa merasakannya sesuatu yang tidak wajar? Ia terus memikirkannya dan berusaha untuk menyangkalnya. Namun semakin ia berusaha menyangkalnya, perasaan itu semakin kuat dan ia ingin merasakannya lagi. Dia sadar, dirinya semakin larut dengan semuanya ditambah dengan perlakuan saudara-saudaranya padanya yang juga menganggap wajar dengan perlakuan itu. Dia tidak bisa menolaknya, bahkan menyukainya. Bagaimana reaksi mereka bila mereka mengetahuinya? Apa mereka akan menerimanya? Mama? Papa? Roro? Ataukah mereka akan membencinya dan memandangnya rendah? Itulah mengapa ia berusaha menutupinya hingga detik ini. Dia takut reaksi mereka akan menyakitinya dan membuatnya jatuh terpuruk. Dia belum siap untuk itu.
‘Tuhan, maafkan aku’ Semakin perih Stephen memikirkannya. Air mata terus mengalir di pipinya, bersamaan dengan air panas dari pancuran yang masih menyala dan mengguyur tubuhnya.
*

    “Mamamu nggak akan minta apa-apa, Ro,” ucap Nanny dengan tersenyum. “Dia nggak butuh pesta ulang tahun yang wah. Yang dia butuhin cuma kamu jadi anak yang baik. Kalian semua jadi anak manis, itu saja.”
    “Tapi udah, kan. Dan lagi, ini juga pembuktian kalau kita anak yang manis. Pesta kejutan untuk mama,” Ronan tetap bersikeras.
Nanny menggeleng-geleng dengan tersenyum.
    “Tapi, Nan…,”
    “Tapi apa?” sebuah suara lembut mengagetkannya dari belakangnya.
Ronan langsung berbalik, “Hi, ma,” seraya mendaratkan ciuman di pipi mamanya.
    “Kalian lagi ngomongin apa, sih? Serius amat?”
    “Nggak kok, ma,” elaknya cepat, seraya memasang muka mengancam pada Nanny, agar tidak membocorkannya.
Nanny hanya mengguk dengan menahan tawanya.
Mamanya terpaksa percaya.
    “Stephen sudah pulang?”
    “Udah, ma, lagi mandi sekarang.”
    “Shane sama papamu belum pulang?”
    “Belum. Kayaknya mereka punya korban baru deh.”
    “Shss, jangan ngomong gitu,” ibunya memperingatkan.
Ronan hanya nyengir kuda.

    “Jadi jangan lupa, periksa lagi dengan pasti, aki mobilnya dipasang dengan benar, kalau nggak bisa meledak itu mobil, ya,” suara Peter terdengar memasuki rumah bersama Shane di samping yang keduanya belepotan minyak oli.
    “Siap, pa.”
Evelyn menyambut suaminya yang baru pulang dari bengkel dan menciumnya mesra.
    “Makan malam sudah siap.”
    “Ok, aku mandi dulu, ya.”
Evelyn mengangguk dan mengecupnya sekali lagi.
    “Kamu juga, Shane, cepat mandi terus cepet turun,”
    “Segera, ma,” sahut Shane dengan mengecup pipi mamanya, kemudian segera naik ke kamar.
    “Keith, Roro, makan malam, sayang!!!” teriak Evelyn memanggil anak-anaknya. Suaranya yang mengalahkan apa pun, sepertinya turun pada Ronan dan Keith.
    “Ya, maaa!!!” pekik keduanya sama kerasnya.

Mikey pulang, tepat mereka akan makan malam, dan ini memang yang diharapkan, sehingga mereka dapat makan malam bersama. Makan malam berlangsung dengan tertib walau terkadang diselingi dengan ulah Shane yang menjahili Stephen atau Ronan. Mereka selalu berusaha untuk dapat makan bersama, baik sarapan maupun makan malam. Ayah mereka yang menginginkannya

            Seperti biasa, seusai makan malam, acara keluarga dilanjutkan dengan bermain musik. Inilah saat kehangatan dan keriangan keluarga terlihat. Ronan, Shane, Stephen bersama ibu mereka bernyanyi bersama dengan iringan musik yang dimainkan Keith, Mikey dan ayah mereka, diselingi dengan gurauan dan bahan candaan yang terlontar dari Mikey juga Keith. Mereka berdua jagonya membuat orang tertawa. Saling peluk dan cium serta rangkulan, terlihat dengan indahnya. Mereka sangat bahagia.
Stephen tersenyum perih melihat kehangatan, kegembiraan dan keriangan yang tercipta di keluarganya ini, juga kasih sayang yang diberikan ayah ibunya dan keempat saudaranya. Tidak diragukan lagi, mereka memang sangat menyayanginya dan memanjakannya, dan dia bahagia sekali. Tapi akankah sikap mereka tetap seperti ini, bila mengetahui tentang dirinya? Bila dia membuka isi hatinya tentang kehidupan pribadinya? Dia tidak bisa menjaminnya, meskipun mereka adalah keluarganya sendiri, bahkan Ronan kembarannya yang selalu berbagi dan terikat batin. Dia tidak mau perlakuan mereka berubah setelah dia menceritakan semua, dia bahkan takut untuk membayangkannya.


    “Aku suka kamu, dan aku suka melakukan semuanya bersamamu. Terima kasih untuk semuanya yang indah, dan aku pengen ini nggak berakhir dengan cepat.  Aku sayang  kamu, Colin” Stephen menutup kalimat penutup di buku hariannya dengan tersenyum.
Ia mengingat kembali semua yang sudah ia lalu bersama Colin. Dia memang baru dua minggu jalan dengan Colin, tapi semuanya sangat indah, dan dia menyukainya. Dia suka Colin. Tapi tiba-tiba ia diingatkan kembali dengan keluarganya. Apa kata mereka nanti? Diliriknya Ronan yang sudah tertidur di tempat tidurnya sendiri. Hatinya kembali perih.
Ro, aku harap kamu bisa mengerti’ ucapnya dengan memandang Ronan terpulas tidur. ‘Tuhan, tolong aku’ air matanya kembali menetes.
***


            Keith kembali melihat Stephen yang pulang diantarkan Colin. Ini yang kesekian kalinya. Sebenarnya itu tidak akan menarik perhatiannya, karena bukan hal yang aneh pulang bersama teman sesama lelaki, dia pun selalu pulang dengan genk-nya yang kesemuanya laki-laki? Tapi tidak bila hanya berdua dan hampir setiap hari. Ronan yang selalu pulang dengan Stephen, rela untuk tidak pulang bersama bila ia menginginkan pulang bersama Colin. Ini yang membuat Keith heran. Tapi bila ditanyakan pada Stephen, Stephen selalu menjawab bahwa Colin hanyalah sahabat, dan bila ia tanyakan pada Ronan, Ronan pun memberikan jawaban yang sama, mereka berteman baik. Mendengar jawaban itu, Keith hanya bisa bisa mempercayainya, dan berusaha untuk tidak berpikiran yang macam-macam. Lagipula wajar anak seumur Stephen memiliki sahabat kental. Mungkin Colin-lah sahabat Stephen.

***



Shane kebingungan dengan masalah mobil yang sedang ditanganinya ini. Mobil ini sudah beberapa hari menjadi pasien di bengkelnya, dan ayahnya menyerahkan padanya untuk memperbaikinya. Setelah tadi dibantu oleh ayahnya, kini dia harus meneruskan sendiri hingga beres. Tapi ternyata dia sendiri yang kebingungan, bagaimana menyelesaikannya?

    “Hey, butuh bantuan?” suara Mikey sudah berada di sampingnya.
    “Wah, kau datang di saat yang tepat,” Shane menyeringai senang dengan kedatangan Mikey yang baru pulang dari tempat kerjanya. Dia yakin Mikey bisa membantunya.
Tanpa diminta, Mikey langsung memriksa mobil ini dan ikut membantu Shane memperbaikinya.

    “Sampai sini aja, Colin.” Suara seseorang yang tidak jauh dari mereka, menarik perhatian.
    “Siapa tuh?” tanya Mikey dari balik kap mobil dengan tangan sudah kotor dengan oli.
Shane memperjelas penglihatannya.
    Steo… sama Colin.”
Mikey hanya ber-o…tanpa meninggalkan pekerjaannya.
Shane kembali pada mesin mobil.
    “Dah, beres, nih” ucap Mikey puas.
    “Sip, tengkyu, ya,” Shane dengan kelegaan dan mulai membereskan peralatan mereka.
    “Belum juga masuk rumah. Aku anterin sampe masuk, deh,” suara Colin terdengar lagi.
    “Nggak usah, sampai sini aja,”
    “Kamu takut ketahuan mereka, ya?” tanyanya hati-hati.
    Keith udah mulai curiga,“ suara Stephen seperti tertahan.
Mikey dan Shane tercekat mendengarnya. Mereka langsung memperhatikan Stephen dan Colin dari tempat mereka berdiri, mendengar apa yang mereka bicarakan.
    “Iya deh, aku ngerti.”
Stephen mengangguk lega. “Makasih udah nganterin.”
Colin mengangguk tersenyum. Matanya memandang hangat ke arah Stephen. Perlahan didekatkan wajahnya padanya, dan….

Mikey dan Shane menahan nafas dengan tidak percaya. Stephen dan Colin berciuman.
Jantung Mikey serasa berhenti mendadak, “Astaga!”
    “Mereka…mereka….?” Shane tergagap dengan apa yang dilihatnya.
Mikey hanya bisa mengangguk dengan kepala masih tidak percaya.
Shane sudah siap menghampiri mereka dan menarik Colin lalu menghajarnya, tapi segera ditahan oleh Mikey, dan membiarkan mereka dulu.

    “Malam, Stee, ketemu lagi besok, ya?”
Stephen mengangguk.
Colin kembali mencium Stephen sebelum pergi.
Stephen menghela nafas dengan tersenyum. Ia berbalik dan hendak memasuki rumah. Sudut matanya menangkap sosok dari arah bengkel di samping rumah. Dia menengoknya, dan seketika darahnya menjadi dingin dengan wajah pucat pasi. Dilihatnya Mikey dan Shane sudah memandang ke arahnya dengan tatapan mata terpaku dan tidak percaya. Dia yakin kedua kakaknya itu melihat semua yang baru saja dia lakukan dengan Colin.

Mikey dan Shane masih terdiam dengan tetap memandangnya tak percaya. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Mikey tahu, Shane berusaha keras menahan emosinya.

    “Kamu sama Colin…?” Mikey membuka suara dengan hati-hati.
Stephen terdiam. Dia sudah tidak bisa menyangkalnya lagi. Dia sudah tertangkap basah.
    “Ya, ampun, Steo…,” Mikey mendesah kecewa, sementara Shane masih terpaku.
Stephen tertunduk, diam seribu bahasa. Dia sangat ketakutan.
Keduanya mendekati Stephen, membuatnya semakin ketakutan.
Tangan Mikey menyentuh kepala Stephen dengan lembut, membuat Stephen tidak kuasa untuk menghambur ke pelukan kakaknya.
    “Tolong, jangan kasih tau mama sama papa,” Stephen memohon dengan terisak di pelukan Mikey.
Mikey memeluk erat adik kesayangannya ini dengan berusaha untuk mengendalikan perasannya sendiri. Rasanya ingin menangis.
Setelah beberapa saat, perlahan dilepasakannya pelukannya.
    Roro tahu?”
Stephen menggeleng. “Nggak ada yang tahu. Nggak sampai kalian….”
Mikey dan Shane terdiam masih dengan tidak percaya.
    “Sudah berapa lama ini berlangsung, Stee?”
Stephen tidak sanggup untuk menjawabnya, “Sebulan.”
Mikey menarik nafas perih.
    “Tapi loe belum sampai ‘gituan’ kan sama dia?” sela Shane yang tidak bisa membayangkan kalau mereka sampai berbuat ‘itu’.
Mikey melotot dengan pertanyaan Shane, berharap jangan menanyakan yang satu itu.
Stephen tidak menjawabnya, hanya terdiam, memberi jawaban pada kakak-kakaknya.
    “Gila, loe, Stee! Loe sama dia udah…?” Shane tidak sanggup meneruskannya.
    “Itu cinta!!” protes Stephen seakan membela diri. “Aku suka dia.”
Shane menepuk jidatnya. ‘Kiamat, deh’
    “Loe suka dia? Tapi dia kan, cowok, Stee, masak loe suka dia?” Shane masih tidak percaya.
    Aku tahu. Tapi aku emang suka dia!” Stephen penuh keyakinan. “Aku nggak bisa suka lagi sama cewek,” lanjutnya lirih.
    “Kamu yakin dengan perasaan kamu ini?” Mikey mencoba memastikan.
Stephen mengangguk.
    “Nggak bisa apa, kamu berusaha untuk melawannya?”
    “Udah! Tapi tetep nggak bisa. Setiap aku coba untuk mengingkarinya, aku makin suka sama Colin. Aku nggak bisa boongin hati. Aku cinta dia.”
Mikey dan Shane semakin terdiam dan pedih mendengarnya.
    “Kamu bener-bener yakin, kamu gak bisa suka cewek?” Mikey kembali memastikan.
Sekali lagi Stephen mengangguk.
    “Sejak kapan loe kayak gini?”
    “Setahun lebih.”
    “Hah!? Setahun lebih? Dan elo nggak ngasih tahu ke kita?” protes Shane.
    Aku takut!”
Mikey terkatup.
    Aku takut. Aku nggak berani. Mama, papa, kalian semua,…aku takut…,” air matanya mulai menetes.
Mikey menariknya kembali ke dalam pelukannya, dia tahu bagaimana perasaan adiknya ini.
    “Tolong, jangan kasih tahu mama. Mama sama papa nggak boleh tahu,” sekali lagi Stephen memohon dengan sangat.
Mikey tidak dapat berbuat apa-apa selain mempererat pelukannya, begitu juga Shane yang masih belum bisa mempercayainya, ‘Stephen…?’
    “Ya, udah, untuk sementara ini, ini jadi rahasia kita. Mama sama papa nggak boleh tahu. Kita jaga perasaan mereka. Kamu bisa jaga rahasia ini, kan Shane?”
Shane bingung harus menjawab apa. Tapi mata Mikey memaksa dia harus merahasiakannya. Ia pun hanya mengangguk tanpa berucap.
Mikey mengangguk dingin. “Dah, sekarang kita masuk.” Mikey merangkul adiknya mengajaknya masuk.
Shane menarik nafas, dan mengikutinya di belakang.

Ibu mereka tersenyum menyambut kepulangan Mikey dan Stephen (Shane seharian berada di bengkel samping rumah),   “Halo, sayang.
Mendengar suara ibunya, Stephen menghambur ke pelukan ibunya dengan menangis terisak. Jelas membuat ibunya terheran.
    “Hey, kenapa, sayang?” kemudian menoleh pada Mikey dan Shane yang masuk bersamaan dengan Stephen.
Mereka berdua tidak dapat berucap.
    “Kamu apain dia, Shane?”
Shane langsung menggeleng, “Nggak aku apa-apain.”
    Mike?”
    “Nggak. Nggak ada apa-apa, kok, ma. Biasa, manjanya lagi keluar.”
Evelyn beralih pada Stephen dengan merangkulnya, “Kenapa, sayang? Mau cerita?” tanyanya lembut.
Dengan cepat Stephen menggeleng.
Melihat gelengan Stephen yang pasti, Stephen tahu, Stephen tidak akan menceritakannya, walaupun dipaksa sekalipun. “Ya, udah, dong, jangan nangis, ah, ya” seraya mengusap air mata Stephen.
Mikey yang melihat Stephen semakin perih rasanya. ‘Maafin Mikey, ma’.
Shane hanya menghela nafas dan lari ke kamarnya.
***

            Untuk beberapa waktu hanya Shane dan Mikey yang mengetahui tentang Stephen, bahkan Keith dan Ronan belum mengetahuinya, dan ini sudah seminggu berlalu. Mikey semakin kebingungan. Dia tidak tahu sampai kapan mereka harus menjaga rahasia ini. Tapi juga tidak mungkin memberitahukan pada ayah dan ibu. Mereka akan sangat terpukul, mengetahui anak kesayangannya seorang gay. Mereka tidak boleh tahu, walau Mikey melihat hubungan Colin dan adiknya ini semakin dekat. Mereka saling jatuh cinta. ‘Ya Tuhan!’
*

    Steo, kamu taruh di mana kasetku!!?”
    “Ada di situ!!” balas Stephen tak kalah kerasnya dari dalam kamar mandi.
Ronan segera mencarinya dengan menyibak buku-buku yang tertumpuk rapi di atas meja belajar Stephen. Jauh dari meja belajarnya yang berantakan.
    “Di mana!? Nggak ada, tuh!” serunya lagi, dengan tetap menyibak-nyibak buku-buku Stephen.
Bruk! Tak sengaja dia menjatuhkan sebuah buku.
Dengan tidak bersemangat dan sedikit kesal ia memungutnya.
Kebetulan buku tersebut jatuh dalam keadaan terbuka. Melihat dari tulisannya, ini tulisan tangan Stephen.
Tidak ada sebersit pun keinginan untuk membaca isi buku itu, ia tahu ini buku harian Stephen dan ia sama sekali tidak berhak intuk membacanya. Tapi siapa yang tidak terkaget, bila tiba-tiba matanya menangkap sebuh kalimat ganjil yang tertulis di situ, ‘Aku cinta kamu, Colin’. Perasaannya mengatakan ada yang tidak beres dengan kalimat ini. Dengan penasaran, Ronan membaca tulisan di lembaran itu.
Ronan terkaget setengah mati dan tidak percaya setelah membacanya, terlebih dengan tulisan-tulisan pada lembaran-lembaran sebelumnya. Semuanya berisi curahan hati Stephen pada Colin. Ronan hanya bisa terpaku tidak percaya.

    Roro!?”
Ronan segera berbalik dengan suara Stephen di belakangnya.
    “Ka…kamu… suka Colin?” Ronan tergagap tidak percaya.
Stephen hanya terdiam., wajahnya sudah pucat.
    “Kamu cintaa dia!!??” pekik Ronan terbelalak.
Spontan Stephen menerjang Ronan dan membungkam mulutnya hingga terjatuh di tempat tidur agar tidak bisa lagi berteriak dan membuat mamanya tahu.
    “Mmpphh…!” Ronan memberontak marah. ”Le..pas…in!!”
    “Tolong, Ro! Kamu jangan teriak-teriak, mama nggak boleh tahu” pohon Stephen dengan tetap membungkam mulut Ronan.
Ronan terpaku mendengarnya, dan memandang Stephen kembali dengan tidak percaya.
Stephen hanya mengangguk kemudian melepaskan bungkaman tangannya di mulut Ronan.
    “Phuah!” Ronan mencari nafas segar. “Kamu suka.. Col...!!?”
Blep! Stephen kembali membungkam Ronan karena kembali berteriak.
    “Mmphhphhh…!!”
    “Hey, kalian lagi ngapain?” seseorang masuk menginterupsi mereka berdua.
Melihat Shane masuk, melengahkan Stephen dan kesempatan Ronan untuk melepaskan diri.
    “LE..PASIN!!” akhirnya bisa melepaskan diri dari tangan Stephen.
    Shano!! Dia pacaran sama Colin!” lapor Ronan langsung dengan paniknya.
Bukannya menampakkan wajah kaget seperti yang diperkirakan Ronan, Shane justru terdiam dan melirik ke arah Stephen dan Stephen menampakkan wajah sedihnya lalu kembali pada Ronan.
    Mike!!” panggil Shane ke luar kamar. “Bisa ke sini dulu bentar!?”
Jelas panggilan Shane membuat Ronan semakin kebingungan.
    “Apaan, sih!!??” dengan sedikit kesal Mikey masuk. “Hah, ada apa?”
    “Dia udah tau,” sahut Shane.
Mikey yang awalnya tidak mengerti maksud Shane, akhirnya tahu setelah melihat ke arah Ronan yang kebingungan dan Stephen dengan wajah ketakutannya.
    “Terus?”
Ronan menangkap arti sahutan Mikey, “Hah, kalian udah tau!!?” Ronan terbelalak tak percaya.
Mikey mengangguk dan refleks menutup pintu kamar.
    “Kalian tau dia pacaran sama Colin!!”
    “Bisa nggak sih, loe nggak teriak-teriak gitu?” Shane pun mulai kesal dengan teriakan Ronan. “Iya kita udah tahu.”
    “Terus?”
    “Ya mau digimanain lagi” sahut Mikey seraya melirik Stephen.
Ronan terbengong tidak percaya.
    Ro…?” Stephen masih ketakutan dengan reaksi kembarannya ini.
Ronan memandang Stephen masih dengan tidak percaya, “Jadi ini, arti kamu tiap hari jalan sama pulang bareng Colin? Kamu pacaran sama dia?”
Stephen mengangguk lirih.
    “Hah!?”
    “Guys…?” seseorang membuka pintu dan menongolkan kepalanya mengagetkan keempatnya. Mereka kira itu adalah ayah mereka, tapi ternyata,
    “Hey, kalian pada ngapain di sini semua?” Keith terheran melihat semua saudaranya berkumpul di sini.
    “Kebetulan, kamu datang, Keet,” sambut Mikey dan menyuruh Keith segera masuk dan menutup pintu.
    “Ada apaan, sih?” Keith semakin penasaran.
    “Kamu juga udah tau, Keet?” tanya Ronan langsung.
    “Tau apaan?” semakin terheran.
    Steo.”
    Steo?” Keith melirik Stephen. “Emang dia kenapa?”
Ronan terheran, “Jadi kamu juga belum tau?”
    “Tau apaan?”
    “Belum, dia belum tahu,” Mikey memberi jawaban Ronan. “Dan kayaknya dia juga harus tau.”
Keith berkerut kening tidak mengerti, “Hallo! Ada yang mau ngasih tau, ada apa ini? Kalian lagi ngomongin apa, sih? Mike?”
    “Aku gay,” ucap Stephen dengan perjuangan batin, terlebih mengakui di depan kakak terdekatnya.
Seketika Keith terdiam memandang Stephen.
    “Dan dia adalah Colin?” tebaknya hati-hati.
Stephen mengangguk.
Keith hanya bisa menarik nafas perih.
    “Berarti kamu udah tau dong?” protes Ronan diikuti tatapan heran dari Mikey dan Shane.
    “Nggak. Aku baru tahu sekarang. Tapi aku nggak buta. Aku udah punya perasaan nggak enak liat Steo tiap hari pulang bareng Colin dan lebih banyak bersama Colin dari pada sama kamu, Ro. Dan kamu, setiap kali aku tanya tentang hubungan mereka, kamu selalu jawab mereka cuma teman.”
    “Karena aku nggak tahu kalo mereka pacaran!”
    “Tapi aku tahu. Aku bisa lihat mereka punya hubungan yang lain, dan itu emang benar, kan, Stee, kamu lagi jalan sama dia?”
Sekali lagi Stephen mengangguk. “Maafin aku, tapi aku emang suka dia. Aku cinta dia.”
Mikey, Keith dan Shane menarik nafas perih mendengar ucapan Stephen yang penuh kepastian dan tanpa keraguan, sementara Ronan hanya menutup wajahnya seakan tidak ingin mendengarnya.
    “Aku mohon, mama sama papa jangan sampe tahu” Stephen memohon dengan sangat.
Keempatnya terdiam.
Mikey menarik nafas dalam-dalam. “Kita emang udah mutusin untuk nggak akan ngasih tahu mama sama papa dulu,” Mikey melirik Keith seakan meminta persetujuan Keith.
Sesaat Keith terdiam, bingung bagaimana menanggapinya, tapi akhirnya mengangguk, “Ya, kamu benar, mama sama papa jangan sampai tahu dulu.”
Keith membuka pelukan pada Stephen dan langsung, Stephen menghambur ke dalam pelukan Keith. Keith memeluknya dengan erat.
Tapi Ronan bereaksi lain. Dia langsung keluar dari kamar itu dan membanting pintu. Terlihat sekali dia seakan tidak bisa menerimanya. Stephen hanya bisa terpaku, namun ketiga kakaknya memberinya dukungan.

Ronan menunjukkan secara jelas penolakan terhadap Stephen. Dia tidak mau lagi berbicara dengannya. Saat mencoba mendekatinya, Ronan segera pergi menjauh. Saat makan malam pun, Ronan yang biasa duduk di sampingnya bertukar tempat dengan Keith untuk menjauhinya. Jelas sekali saudara kembarnya  membencinya. Ketakutannya menjadi kenyataan. Ini yang sangat ia takutkan. Tapi ia bisa mengerti perasaan saudaranya. Ketakutan terbesar lainnya adalah jika Ronan memberitahukannya pada ayah dan ibunya.

    “Nggak, dia nggak akan bilang sama mereka,” sahut Mikey pasti menenangkan Stephen.
    “Tapi sekarang dia benci aku.”
Untuk yang satu ini mereka tidak bisa memberi sahutan apa-apa, hanya bisa memberi pelukan untuk menunjukkan bahwa mereka masih menyayanginya.

Dengan berat hati Stephen bertukar tidur dengan Shane. Walau Ronan tidak mengatakannya, ia yakin Ronan tidak mau sekamar lagi dengannya. Lebih baik dia yang keluar dari kamar. Tidak semua bisa menerima keadaannya dengan lapang dada, terlebih bila orang itu adalah saudara kembarnya sendiri.

    “Kok, kamu tidur di sini?” tanya Ronan tiba-tiba saat Shane bersiap tidur di tempat tidur Stephen.
Shane mendengus kecil, “Terus gua harus tidur di mana, kalau tempat tidur gua dipake sama orang? Di lantai?”
    “Steo?” Ronan memastikannya.
Shane tidak perlu menjawabnya.
Ronan terdiam, dan melihat Shane meringkuk di tempat tidur bawah.
Tapi Ronan tidak bisa tidur. Bukan karena Shane, tapi karena Stephen yang jelas menjauhinya. ‘Apa Steo benar menjauhinya?’

           
            Beberapa hari berlalu, Shane masih mengungsi di tempat tidur Stephen, sementara Stephen memakai tempat tidurnya. Ronan belum berani menanyakan apapun, terlebih dengan semakin menjauhnya Stephen darinya. Tidak pernah lagi pulang bersama, di rumah jarang berbicara dan bersikap dingin. Ini yang membuat Ronan semakin sesak.

    “Kamu, nggak bisa begini terus, Ro, kamu bisa bikin mama sama papa curiga,” Keith mengingatkan Ronan. “Kalian sudah seminggu lebih pisah kamar.”
    “Lho, dia sendiri yang minta pindah kamar,” protes Ronan tidak terima.
    “Dia nggak akan pindah kalo nggak kamu cuekin. Dia nggak tahan dengan sikap dingin kamu.”
Ronan terpaku.
    “Dia sedih kamu jauhi.”
    “Tapi dia juga jauhi aku!” kembali memprotes.
    “Tapi kamu dulu yang jauhi dia. Kamu dingin sejak hari itu. Dia mengira kamu benci sama dia, dia mengira janji nggak nyaman dekat dengan dia, dia mengira loe sudah nggak sayang dia lagi. Karena itu, dia juga memilih jauh dari kamu.”
Ronan terkatup.
    “Apa iya, kamu nggak bisa menerimanya?”
Ronan tidak bisa menjawabnya.
    “Kamu malu dengan keadaan dia? Kamu terganggu dengan dirinya, kamu_
    “Nggak!” pekik Ronan tiba-tiba lepas mengagetkan Keith. “Aku nggak terganggu, aku nggak malu!” protesnya hampir menangis.
    “Terus kenapa?”
    “Aku cuma…aku cuma benci dia udah ngelupain aku. Sejak dia bareng sama Colin dia udah nggak pernah mau lagi pulang sama aku,” air matanya sudah mulai keluar. “Dia udah nggak butuh aku. Aku benci ditinggalin!” pekik Ronan kesal dengan air mata yang sudah menetes di pipi.  Keith terdiam mendengar.
    ”Aku nggak mau ditinggalin, aku nggak mau dilupain. Itu cowok udah ambil saudara aku. Biarin dibilang kayak anak kecil, tapi aku nggak mau ditinggalin!”
    “Nggak ada yang ninggalin kamu, Ro, aku nggak pernah ninggalin kamu,” sebuah suara tertahan dari arah belakang membuat Ronan terpaku.
Ronan segera berbalik, dan melihat Stephen berdiri di hadapan dengan mata sudah berkaca-kaca.
    Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Ro” ulangnya lagi.
    “Tapi kamu udah nggak pernah peduli lagi sama aku. Kamu lebih seneng jalan sama dia dari pada sama aku. Kamu udah nggak sayang aku. Kamu lebih sayang dia daripada daripada sayang aku!”
    Aku masih sayang kamu, Ro, nggak ada yang bisa merubahnya. Kita lahir bareng, nggak ada yang bisa misahin kita, kita akan selalu bersama. Kenapa aku nggak pulang bareng kamu, karena aku takut untuk membukanya sama kamu. Aku takut kamu tahu tentang aku, dan langsung benci aku. Aku takut penolakan kamu dengan keadaan aku. Aku takut Ro.
Ronan terkatup.
    “Sikap kamu belakangan ini sudah merupakan penolakan buat aku. Dan itu yang aku takutin. kamu belum siap nerima keadaan aku.”
    “Nggak Stee, aku nggak pernah nolak keadaan kamu. Ok, mungkin aku kaget, tapi itu nggak akan merubah kamu, dan hubungan kita. Kamu ya kamu, dan aku tetep sayang sama kamu. Aku cuma takut ditinggalin kamu buat tuh cowok. Kamu tahu sendiri aku nggak suka ditinggalin.”
Stephen harus tersenyum. “Kamu nggak mau aku tinggalin?”
Ronan menggeleng lirih.
    “Berarti kamu jangan niggalin aku lagi?”
    “Nggak akan!” Ronan menjawab langsung.
Stephen semakin ingin tertawa geli, tapi dia tahu Ronan akan marah kalau ketahuan kelemahaannya.
Stephen hanya tersenyum memancing.
Ronan jadi gugup. “Kita ga perlu pelukan kan?”
    “Terserah…,” dengan wajah imutnya.
Tanpa pikir dua kali, Ronan menghambur ke pelukan Stephen.
    “Maafin, aku, Stee…,”
    “Maafin, aku juga, Ro, aku udah ngecewain kamu…,”
    “Ya… kamu juga nggak bisa nolak, cinta kadang sulit diterima akal sehat.”
Stephen harus tersenyum, tidakpercaya Ronan akan mengucapkan itu. “Makasih, ya, Ro.”
Ronan hanya mengangguk. “Cuma jangan tinggalin aku, ya. Ajak aku kalau kalian pacaran.”
Stephen berubah merah, sementara sebuah pukulan kecil mendarat di kepala Ronan.
    “AW!!” Ronan menoleh marah dengan pukul kecil dari Keith
    “Jangan ngaco, deh, Ro.” Keith tidak habis pikir, otaknya Ronan kadang-kadang suka aneh.
Bukannya marah, Stephen justru tertawa lebar, geli dengan kelakuan adik kembarnya ini. Tapi ia merasa lega. Toh ternyata Ronan tidak menolaknya. Ronan menerima keadaannya. Dia hanya tidak ingin dilupakan oleh kembarannya. Stephen bisa mengerti itu. Dan lagi, Stephen dan Ronan tidak akan jadi Stephen-Ronan kalau berpisah. Stephen hanya bisa bernafas lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar