The Breens Brother

The Breens Brother
Breens Brother

Sabtu, 02 Oktober 2010

3. Kenapa Rambutku Pirang?

Mei 1985

Mikey 13 tahun, Keith 11 tahun, Shane 9 tahun, Stephen-Ronan 8 tahun.



Dengan semangat, Keith memasuki dapur dan melihat Ronan sudah berada di sana.

    “Heh, pirang!” Keith menepuk kepala Ronan. “Ngapain kamu di sini? Gangguin mama, ya?”
    “Jangan panggil aku pirang!” bentak Ronan kesal.
    “Lho, emang kenapa? Pirang…,” Keith semakin menggoda adiknya.  
Dengan mendengus kesal, Ronan segera keluar dari dapur. Keith tersenyum geli melihatnya.
    Keet,” Evelyn menegur putranya. “Kamu tahu dia nggak suka dipanggil begitu.”
    “Tapi dia emang pirang, kan, ma?”
    “Iya, tapi kan harus manggil dia begitu? Dia jadi merasa beda.”
    “Dia memang beda, kan, ma,” Keith bersikukuh.
    Keet…” kembali Evelyn menegur Keith dengan lunak.
    “Maaf, ma.”
Evelyn hanya tersenyum.
Keith memperhatikan makanan yang ada di atas meja.
    “Mhmm, pasta,” kemudian diambilnya separuh ke piringnya. “Pirang!!! Mau pasta, nggak!?” teriaknya melupakan teguran mamanya.
    “Keith!!??”
Tapi Keith tidak menghiraukannya karena dia sudah terlanjur keluar dari dapur.
***

  
Ronan memperhatikan dengan seksama foto yang berada di depannya. foto mereka sekeluarga yang berjajar rapi di atas bufet. Dia sama sekali tidak mengerti. Kenapa hanya dia yang berambut pirang sementara mama papa berambut coklat, juga semua kakak-kakaknya berambut coklat, bahkan dengan saudara kembarnya sendiri? Benarkah dia anak mama dan papa, atau anak orang lain? Tapi wajahnya dengan Stephen benar-benar mirip, dan hampir tidak bisa dibedakan kalau saja rambut mereka berwarna sama. Ronan benar-benar tidak mengerti.

    “Heh, pirang!” suara Keith mengagetkannya dari belakang.
Ronan segera berbalik, “Nggak,” berusaha menutupi benda yang baru saja ia pelototin.
Tapi sepertinya tidak berhasil. Keith melirik benda yang di belakang Ronan, kemudian tersenyum simpul.
    “Masih mikirin rambut kamu?” tebak Keith pasti.
 Ronan terdiam cemberut.
    “Iya, deh, aku nggak akan manggil kamu ‘Pirang lagi,“ Keith mengalah.
Ronan melirik tipis kakaknya.
    “Kak, kenapa sih, rambutku pirang sendiri?”
    “Wah, nggak tau, ya. Tapi kalau nggak salah, itu mungkin kamu yang kelamaan di inkubator. Itu inkubator, kan ada lampunya yang terang, dan kamu di dalam sana 5 bulan lebih, jadi mungkin aja, rambut luntur jadi pirang. Atau juga, rambut kamu terkontaminasi sama obat-obat yang kamu minum waktu kamu bayi.”
Ronan berkerut tidak percaya. “Bisa gitu?”
    “Ya, nggak tahu, ini kan cuma kemungkinan. Nggak tahu, deh.”
Ronan semakin cemberut.
Keith tersenyum geli, “Udahlah, ngapain dipikirin. Kan, bagus, rambut kamu pirang sendiri, kayak gini, persis rambut jagung yang ada di kebon belakang.”
Cemberut Ronan semakin menjadi-jadi, membuat Keith tergelak melihatnya.
    “Udah, ah. Daag, pirang,” Keith melenggang meninggalkan Ronan yang semakin kepanasan.
Bletak!!
    “Aw!!”
Ronan menimpuk Keith dengan sandalnya. Keith langsung berbalik.
    “Berani, ya, ngelempar aku!?” Keith dengan marah. “Awas, ya!!” segera menghampiri Ronan.
Sebelum Keith menyentuhnya, Ronan sudah mengambil langkah seribu menyelamatkan diri. Keith langsung mengejarnya, dan mereka berlarian di ruang tengah membuat gaduh rumah.
***

    Stee, aku beda, ya?”
    “Beda? Nggak.”
Ronan terdiam. “Aku beda.”
    “Beda gimana?”
    “Rambutku beda sendiri. Cuma aku yang Pirang.”
Stephen tidak menyahut.
    “Kira-kira, bisa nggak ya, rambutku jadi coklat, kayak kamu?”
    “Nggak tahu. Bisa aja kalo kamu cat.”
    “Pake apa?”
    “Pake pilox kali,” sahut Stephen sekenanya.
Ronan kembali terdiam, tapi kemudian muncul ide di kepalanya dan segera bangkit dari duduknya dengan menarik tangan Stephen.

Mereka menuju bengkel ayahnya. Kebetulan, ayah dan ibunya sedang pergi ke luar kota untuk beberapa hari. Ronan langsung membongkar kotak peralatan kerja ayahnya.

    “Kamu mo ngapain? Papa pasti marah kalo kita berantakin barangnya.”
Ronan tak menyahutnya dan terus mencari barang yang dimaksud di kepalanya.
Akhirnya Ronan menemukan barang yang dicari, sebuah pilox berwarna, hanya saja bukan dengan warna yang ia maksud.
    “Nggak ada warna coklat, Stee, ada juga warna kuning,” dengan kecewa.
Stephen tak menyahut hanya memperhatikan pillox tersebut dan menyemprotkannya di lantai.
    “Bagus nggak, kalo rambutku warna kuning begini?”
Ronan sempat tercekat, “Kamu pengen rambut kamu kuning?”
Stephen mengangguk.
    “Ya, udah, rambut kamu aja yang dicat,” Ronan dengan tersenyum lebar.
    “Hah?”
    “Iya.”
Sesaat Stephen ragu, tapi kemudian mengangguk.
    “Pake apa?”
    “Ya, pake ini,” Ronan menunjukan benda yang yang dipegangnya.
    “Emang bisa?”
    “Bisa. Aku pernah lihat papa ngewarnain mobil pake ini. Kali aja, bisa.”
Sekali lagi Stephen mengangguk mau. Maka tanpa ragu lagi Ronan menyemprotkan, pillox warna kuning muda itu, ke seluruh rambut Stephen hingga tak terlihat warna coklat rambutnya.
    “Dah, selesai,” ucap Ronan puas.
Stephen tersenyum sama puasnya.
Ronan senang sekali ada orang orang yang berambut sama kuningnya dengan dia, terlebih orang itu adalah saudara kembarnya sendiri.
    “Sekarang kita beneran kembar, Stee.”
Stephen hanya mengangguk dengan tersenyum.
    “Stephen, Ronan!!! Makan malam sudah siap!” teriak Nanny memanggil mereka dari dalam rumah.
    “Iya!!” mereka bergegas masuk ke dalam rumah.
*

Sudut mata Nanny menangkap sosok berkepala pirang melewatinya di tengah sibuk menyiapkan meja makan. Ia menolehnya.
    Ro, mandi dulu, baru turun makan, ya?”
Yang diajak bicara tak menyahut hanya segera naik ke atas. Nanny sempat terheran. Tumben, Ronan tidak menghampiri meja makan, melihat sajian makan malam seperti yang biasa ia lakukan. Tap tidak begitu ia pedulikan. Ia kembali ke dapur untuk mengambil sebagian sajian makan malam yang belum tersedia di meja makan.
Di pintu dapur, ia melihat Ronan masuk dengan pakainnya yang dekil penuh debu. Ronan menyeringai dengan nakalnya.
    Ya ampun, Roro, kotor sekali kamu. Sana, mandi dulu, baru turun mak_,” tersadar dengan ucapannya, ia  teringat, sesaat lalu ia mengucapkan kalimat yang sama pada Ronan yang sudah naik ke atas. Tapi yang dihadapannya juga Ronan. Jadi yang tadi itu siapa?
Wajah Nany berubah pucat dengan memandangi wajah bocah yang dihadapnnya.
    “Aaargggghhhhh!!!!!” pekiknya langsung.
Nanny yang memekik tiba-tiba, mengagetkan seisi rumah, sementara Ronan yang tidak tahu ada apa dengan Nanny, hanya bisa berkerut heran, dan ikut ketakutan juga.

    “Apaan, sih?” Keith datang tergopoh-gopoh masuk dari halaman luar yang diikuti Shane.
    “Kenapa, Nann?”
    “Roro, punya hantu kembaran,” lapornya dengan tergagap ketakutan.
    “Hantu kembaran?” Shane berkerut kening, “Yang ada juga, dia memang kembar. Stephen kembarannya, Nan,” seperti mengingatkan Nanny.
    “Bukan, dia bukan Stephen. Yang tadi rambutnya sama-sama pirang, Stephen nggak pirang. Itu hantu kembarannya Roro,” Nanny bersikukuh.
Shane dan Keith terdiam, sama sekali tidak mengerti.
    “Bilang, kamu Roro atau hantunya?” Nanny beralih pada Ronan.
Ronan langsung menggeleng, “Aku Roro, bukan hantu.”
Nanny kembali pucat, menyadari anak pirang yang pertama ia lihat, adalah hantu. “Ya Tuhan, aku lihat hantu.”
Ronan menyadari yang ditakutkan Nanny, dan ingin menjelaskannya, “Bukan…”
    “Roro!!!” tiba-tiba teriakan menahan marah terdengar dari arah tangga, mengagetkan mereka.
Mikey turun dengan menggandeng anak berambut pirang juga.
    “Itu dia hantunya!” seru Nanny begitu melihat anak itu.
    “Ini bukan hantu, Nann, sahut Mikey pasti.
    “Terus?”
Mikey tidak menjawabnya, tapi beralih pada Ronan. “Roro, kamu apain rambut Steo!!?”
Ronan terdiam ketakutan melihat kakaknya marah seperti ini.
Sesaat Shane dan Keith terdiam, masih belum mengerti, tapi kemudian mereka langsung tahu apa yang sedang terjadi.
    “Ya, ampun, Roro! Kamu cat rambut Steo jadi kuning!?” Keith terbelalak tak percaya seraya menahan tawanya.
Mau tak mau Ronan mengangguk mengakui, dan meledaklah tawa Shane dan Keith, sementara Nanny, justru duduk lemas karena lega, karena tahu yang ia lihat tadi bukanlah hantu melainkan Stephen kembaran Ronan.
    “Kenapa kamu cat rambut Steo jadi kuning kayak gini?” Mikey sangat tidak mengerti.
    “Dia yang pengen,” Ronan membela diri.
    “Nggak, lagi!” protes Stephen tidak terima.
    “Iya!”
    “Udah, deh, Ro, kamu kan yang pengen ada temen yang sama-sama pirang,” Keith menyela.
Ronan melirik Keith dengan cemberut, kemudian kembali  pada Mikey.
    “Aku nggak mau pirang sendiri. Kalian semua rambutnya coklat, kenapa cuma aku yang pirang? Kan, nggak adil!” Ronan sudah bersiap menangis.
   “Kenapa nggak rambut kamu aja yang dicat coklat?” Shane dengan usil.
   “Nggak ada, yang ada cuma warna kuning,” dengan polosnya.
Kepala Mikey pening dengan kelakuan adiknya ini yang selalu meributkan warna rambutnya yang berbeda sendiri. “Tapi, kan, nggak usah dicat pake pillox, gini, Wa.”
    “Abis pake apa?”
    “Ya pake cat rambut.”
    “Punya?”
Mikey semakin pening. “Nggak ada. Dan mama nggak akan ngijinin kalian pake cat rambut, apalagi pake pillox, kayak gini, dan juga papa pasti marah besar, kalau tau kalian membongkar barangnya dia.”
    “Tuh, kan, aku bilang juga apa, kamu sih!” Stephen menyalahkan Ronan membuat Ronan semakin cemberut.
    “Ah, aku nggak mau rambutku kuning gini. Ganti, balikin jadi coklat lagi.”
    “Mana bisa. Itu pillox baru ilang minggu depan, malah bisa lebih, itu juga kalo kamu keramas tiap hari.”
    “Terus gimana, dong?” Stephen mulai ketakutan.
    “Ya, gimana lagi, tunggu aja sampe warnanya ilang sendiri.”
    “Seminggu lebih, lho,” Shane mengingatkan.
    “A!!!…, nggak mau!! Kamu sih!!”
    “Lho, kamu kan, yang pengen?” protes Ronan tidak terima.
    “Tapi kan, nggak kayak gini! Pokoknya tanggung jawab!”
Ronan mendengus.
    “Udah, kalian jangan ribut! Berantem juga percuma, rambut kamu sudah kuning begini,” Keith dengan cueknya.
    “Tapi mama?”
Mikey menghela nafas terpaksa, “Aku yang ngomong sama mama.”
Stephen dan Ronan langsung bernafas lega.
    “Kalian, tuh ya, bisanya nyusahin aku melulu,” keluh  Mikey dengan kesalnya.
Stephen dan Ronan tidak menghiraukannya, sementara Shane, Keith dan Mikey hanya tersenyum geleng-geleng kepala, semakin gemas dengan mereka berdua ini.
    “Dah, sekarang kamu mandi, terus makan,” Nanny menyuruh Ronan naik dan segera dipatuhinya.
**


    “Pagi, sayang,” Evelyn menyambut kebangunan putra tertuanya dari tidur.
Nanny membuka mata kemudian tersenyum, “Pagi, ma.” Kemudian menerima kecupan di keningnya. “kapan pulang, ma?”
    “Tadi malam, saat kalian sudah tidur.”
    “Gimana, nggak ada apa-apa, kan, selama kami pergi?”
Nanny menggeleng.
    “Bagus. Mama tahu, kamu bisa mama andalkan.”
Nanny tersenyum bangga.
    “Nah, bangun sekarang, mama mau lihat adik-adikmu. Bangun terus mandi, ya?”
Nanny mengangguk dengan tersenyum, kemudian melihat mamanya keluar kamarnya. Diliriknya tempat tidur di sampingnya. Sudah kosong, berarti Keith sudah bangun.
*
Evelyn memasuki kamar ketiga putra terakhirnya dan mendapati tempat tidur Shane sudah kosong (Shane memang sudah bangun terlebih dahulu) dan Ronan yang tidur di ranjang bawah, ranjang milik Stephen.
‘Ah, mungkin mereka bertukar tempat’ pikirnya dengan tersenyum.
Didekatinya Ronan yang masih tertidur. Kemudian dikecupnya kening putra bungsunya ini. Mrs.Breen sedikit berkerut kening terheran dengan aroma tubuh anaknya ini. Dia hapal semua aroma kelima anaknya. Ini bukan aroma Ronan, ini…
Ditengoknya tempat tidur di atasanya. Sempat kaget juga melihat ada Ronan lagi tertidur di sana, tapi kemudian tersenyum geli dan hampir tidak mempercayainya. Dua anaknya berambut pirang? Tidak mungkin. Berarti salah satunya pastilah Stephen. Tapi yang manakah Stephen? yang di atas atau yang di bawah? Bisa saja, mereka bertukar ranjang.
Evelyn kembali pada ranjang bawah. Dipandanginya wajah anaknya ini dengan seksama, memastikan ini Ronan ataukah Stephen. Wajah mereka memang mirip, tapi dia tahu bagaimana membedakannya. Tiba-tiba mata Ronan berkedip-kedip kemudian membuka.
    “Pagi, ma,” menyapanya.
    “Pagi, sayang,” dengan tersenyum. Ia sudah mendapakan jawabannya melalui suara yang lebih tinggi dan sifatnya yang mudah dibangunkan.
    “Gimana, Stee, suka dengan warna pirangnya?” Evelyn tersenyum lembut.
Stephen tercekat sekaligus teringat, rambutnya masih juga kuning walau sudah berlalu empat hari. Ia langsung menampakkan wajah ketakutannya. Tapi mamanya tetap tersenyum manis padanya.
    “Maa!!” tiba-tiba Mikey masuk ke kamar dengan tergesa-gesa seakan hendak memberitahukan sesuatu.
Evelyn menengok ke arah pintu.
    “Steo…,” Mikey ragu melanjutkannya.
Evelyn tersenyum dengan mengangguk, “Mama tahu, kok, Mike.”
    “Hah? Steo udah bilang?” Mikey terheran dengan melirik Stephen.
    “Kamu pikir mama nggak bisa membedakan anak kembar mama? Mama bisa membedakan mereka walaupun warna rambut mereka sama.”
Mikey tersenyum malu. ‘Ya, iyalah, masak seorang ibu, tidak bisa membedakan anaknya sendiri?’
Evelyn kembali pada Stephen.
    “Siapa yang mengecat rambut kamu?”
    “Roro.”
Sekali lagi Evelyn tersenyum membenarkan dugaannya.
    “Mama nggak marah?”
    “Mau marah juga percuma, rambut kamu sudah begini.”
Stephen terdiam masih takut.
    “Nggak, mama nggak akan marah,” sahutnya melegakan Stephen.
    “Mama mau marahin Roro, ya?”
Evelyn berpikir sejenak. “Akan mama pikirkan.”
    “Jangan marahin Roro, ma, ini juga Steo yang pengen. Tapi kalo jadinya begini, Steo nggak mau, deh,” sungut Stephen.
Evelyn tersenyum geli. “Baiklah, mama nggak akan marahi dia.”
    “Juga, jangan kasih tahu papa, ya ma?” Stephen memohon.
    “Gimana kamu, apa yang bisa ditutupin dengan rambut kuning gitu,” Mikey menyela. “Papa pasti tahulah.”
Stephen kembali ketakutan.
    “Nggak usah takut, papa nggak akan marah,” Evelyn menenangkan anaknya.
    “Bener, ma?”
Evelyn mengangguk, “Mama jamin.”
Stephen dapat tersenyum lega.
Tiba-tiba,
    ANAK-ANAK, OBENG PAPA MANAAAAA!!!!” teriakan keras ayah mereka di bengkelnya terdengar sampai lantai atas.
    “Woah!! Papa!!” Ronan yang berada di atas, terkaget dan segera bangun mendengar teriakan ayahnya.
*

                Ronan tetap menekuk wajahnya. Bukan karena dimarahi oleh Ayahnya, walau sempat diomelin karena kenakalannya mengecat rambut Stephen dan baru hilang dalam waktu seminggu lebih, ( mungkin Shane benar, Ayah mereka tidak akan pernah memarahi Stephen dan Ronan karena mereka sangatlah istimewa) melainkan masih tidak bisa menerima kenapa hanya dia sendiri yang berambut pirang? Kenapa rambutnya tidak lurus juga?)

    “Roro, sini, mama mau nunjukin kamu sesuatu,” panggil Evelyn halus.
Ronan mendekat pada ibunya.
Ibunya menyerahkan sebuah foto padanya. Foto tua dari seorang wanita cantik berambut pirang.
    “Kamu tahu siapa dia?”
Ronan menggeleng.
    “Itu nenekmu. Ibu mama,” jawabnya dengan tersenyum.
Ronan terdiam. “Dia pirang juga?”
Evelyn mengangguk. “Kamu tidak pernah melihatnya, karena dia sudah meninggal saat mama seumurmu. Ya, dia berambut pirang, sama sepertimu.”
    “Tapi kenapa mama nggak juga pirang?”
    “Karena kakekmu berambut lurus, dan mama memiliki rambut seperti seperti dia.”
Ronan kembali terdiam.
    “Kamu tahu nggak, dengan rambutmu yang pirang ini, membuatmu sebagai anak emas mama. Kamu mengingatkan mama pada nenekmu, dan mama sangat berterima kasih. Kamu sangat istimewa bagi mama”
Ronan memandang mamanya dengan takjub. “Benarkah?”
Evelyn mengangguk lagi, “Kalau kamu tetap meributkan rambutmu yang pirang sendiri, berarti kamu tidak mensyukuri pemberian Tuhan, padahal mama sangat bersyukur mendapatkanmu dengan rambut seperti nenekmu. Mama sangat merindukan dia. Dengan melihatmu, mama seperti melihatnya lagi.”
Ronana terdiam.
    “Kamu nggak suka punya rambut seperti nenekmu?”
    “Nggak, ma, Roro suka, kok,” Ronan menyahut dengan cepat.
Evelyn tersenyum tidak percaya, “Benar?”
Ronan mengangguk pasti.
    “Bukannya kamu nggak suka punya rambut pirang?”
    “Nggak lagi, ma. Sekarang Roro suka dengan rambut Roro. Kalau Roro bisa mengingatkan mama pada nenek, Roro sangat bersyukur punya rambut pirang walau cuma sendirian, dan Roro nggak akan ngeributin lagi.”
    “Bener?”
Ronan mengangguk.
    “Janji?”
    “Janji, ma.”
Evelyn tersenyum lega. “Sini,sayang,” seraya menarik Ronan ke dalam pelukannya.
Ronan memeluk mamanya dengan sangat erat. “Maafin Roro, ma.”
Evelyn mengangguk dan mengecup kepala Ronan.
    “Ma…, benarkah Roro anak emas mama?” tanyanya sekali lagi.
Dengan tersenyum Evelyn mengangguk, “Iya, Ro, kamu anak emas, mama.”
Senyum lebar penuh kebanggaan. Sekarang dia tidak akan meributkan lagi soal rambutnya yang Pirang sendiri, justru akan dengan bangga menunjukkan kepirangannya. ‘Aku adalah anak emasnya mama’.


TBC 
   




  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar