The Breens Brother

The Breens Brother
Breens Brother

Sabtu, 02 Oktober 2010

4. Anak Lelaki, Tetap Anak Lelaki


Oktober 1986

Mikey: 14 tahun; Keith : 12 tahun; Shane: 10 tahun; Stephen-Ronan: 9 tahun


Pagi yang indah untuk keluarga Breens mengawali hari. Seperti biasa sarapan pagi dengan seluruh anggota keluarga lengkap, menjadi aktifitas wajib di pagi hari.

“Roro mana?” Evelyn Breen mennyiapkan semangkuk sereal untuk Stephen.
“Masih di kamar,” sahut Shane.
“RONAAAN, CEPET TURUN!!!!!!!” Evelyn berseru dengan lantang.
“YA MAAAA!!” terdengar sahutan dari atas yang tak kalah kerasnya.

Tak lama, Ronan turun dengan terburu-buru. Semua mata mengarah padanya, terutama ayah mereka Peter Breen. Mereka semua yang sudah siap untuk sarapan, harus menunggu si bungsu yang selalu terlambat turun.

“Maaf, pa,” ucap Ronan lirih, kemudian duduk di samping kakaknya, Shane.
Peter tak menjawab. Dilipatnya koran yang sedang di bacanya, dan bersiap untuk berdoa.
Peter memulai memimpin doa sarapan bersama. Mereka semua mengikutinya dengan hikmat sebagai kewajiban.
“Amin,” Peter menutup doa.
“Amin.”
Mereka segera menyantap sarapan pagi.


Setelah sarapan selesai, mereka bersiap untuk pergi ke sekolah. Mikey, Keith, Shane, Stephen dan Ronan memberikan kecupan di pipi ibu mereka sebelum keluar dari rumah.

“Keith, jaga adik-adikmu. Sekarang mereka tanggung jawabmu, ya.”
“Ya, ma,” semua menerima kecupan di pipi dari sang mama.
Mereka berempat menuju sepeda masing-masing, kecuali Stephen yang akan membonceng Shane.
“Baik-baik di sekolah, ya?” pesan Evelyn pada Stephen dan Ronan. “Dan jangan nakal.”
Stephen dan Ronan hanya mengangguk.
Ronan menuju sepedanya, sementara Stephen menuju Shane yang sudah menunggunya. Setelah itu, mereka mulai mengayuh sepedanya. Mereka selalu berangkat bersama-sama.
“Shane, jangan ngebut!!” Evelyn berteriak berpesan dengan kebiasan Shane yang selalu ngebut dengan sepedanya.
“Iya!!!”

Di persimpangan jalan, Mikey harus berpisah dengan keempat adiknya, karena sekolah mereka yang berbeda arah.

“Ya udah, ketemu di rumah, ya?”
“Ok.”
“Keet, jaga mereka,” pesannya pada Keith.
“Siap.”

Sepeninggal Mikey, Shane melirik nakal pada Stephen,
“Mau kayak kemarin lagi?” tawarnya dengan tersenyum simpul.
Stephen mengangguk semangat. “Lebih cepat dari kemarin, ya, Shane?”
Shane mengangguk pasti, “Ok,” dan mulai mengayuh sepeda dengan kecepatan penuh.
Melihat Shane mempercepat sepedanya, segera diikuti oleh Keith yang juga menambah kecepatannya.
“Woy, tungguin dong, jangan ditinggalin!!” pekik Ronan karena kalah cepat dengan kakak-kakaknya.
“Cepetan, Ro, telat, nih!!” balas Keith tak kalah kerasnya.
Sepenuh usaha Ronan mengejar ketiga kakaknya.
***

SMA Grange Community

Mikey memasuki gedung sekolahnya yang masih terasa asing baginya. Ya, dia baru sebulan menjadi murid di sini, tahun pertamanya di setelah lulus dari SMP St. Brigids (sekolah putra), bersama keempat adiknya yang masih bersekolah di sana.

Diperhatikan sekelilingnya. Anak perempuan dan anak laki-laki berbaur menjadi satu, masih terasa aneh melihatnya. Selama 8 tahun, dia bersekolah di sekolah khusus anak laki-laki, dan baru kali ini ia bersekolah di sekolah heterogen. Tapi dia harus dapat membiasakannya. Ini sekolahnya untuk tiga tahun mendatang.

Matanya menangkap sosok gadis yang sudah menarik perhatiannya sejak hari pertama dia masuk sekolah. Gadis itu berambut pirang, ramping, matanya bagus, dan kalau tersenyum…. Mikey terus memandangi gadis itu dan terbuai olehnya. ‘Tapi siapa namanya?’

“Woy, Mike,” Mikey dikejutkan oleh seseorang yang menepuknya dari belakang.
Itu Shane, teman barunya. Segera dibuang pandangannya dari gadis itu, jangan sampai Shane mengetahuinya.
“Ngelamun. Pagi-pagi udah ngelamun,”
“Ah, nggak,” Mikey langsung berkilah berusaha menutupi merah di wajahnya.
Tapi sepertinya tidak berhasil. Shane segera menangkap merah di wajahnya.
“Kenapa mukamu?”
“Nggak, nggak papa. Yuk, ah, ke kelas,” Mikey berbalik dan berjalan menuju kelas mereka.
Shane akhirnya mengikutinya, tanpa banyak bicara.
***

SD-SMP St. Brigids

Dengan terengah-engah, Ronan memarkirkan sepedanya di samping sepeda kakak-kakaknya, di halaman sekolah.

“Besok, kamu harus lebih cepat lagi, Ro,” Keith dengan menepuk kepala Ronan, dan melenggang masuk ke gedung sekolah.
Ronan hanya mendengus kecil, seraya mengikuti kakak-kakaknya dari belakang.
Keith mengapit kepala Ronan dengan gemas setelah Ronan berjalan di sampingnya.
“Lepasin,” tepis Ronan kesal. Dia tidak suka diperlakukan seperti itu.
Tapi bukannya dilepaskan, Keith justru semakin gemas jadinya dengan memainkan rambutnya yang pirang keemasan. Satu-satunya yang berambut pirang di keluarga. Shane dan Stephen tergelak melihatnya. Shane pun ikut mengapit kepala Stephen dengan gemasnya. Berbeda dengan Ronan, Stephen justru menyukai perlakuan itu.

“Hey!” langkah mereka dihadang oleh lima orang anak dengan wajah dingin. Mata sinis memandang mereka berempat, terutama pada Keith.
“Urusan kita belum selesai.,” ucap salah satu dari mereka pada Keith.
Keith tersenyum dengan tenang, “O, jelas kita sudah selesai. Kalian kalah, dan kalian harus bisa terima itu. Kita nggak ada urusan lagi,”
“Nggak bisa. Urusan kita belum selesai, dan harus selesai sekarang,” protes Conan yang Keith tahu, adalah si pemimpin mereka
Keith mendesah, “Lihat di belakang kalian.”
Mereka berlima segera menengok ke belakang, dan di sana sudah berkumpul sekitar tujuh anak bersiaga, membuat mereka ciut melihatnya. Itu anak buah Keith.
“Aku nggak mau ribut, karena masalah kita sudah selesai, jadi jangan cari masalah baru, ok?”
Keith melenggang dengan tenangnya diikuti Ronan juga Shane dan Stephen.
“PENGECUT!!!” teriak salah satu dari mereka.
Keith panas mendengarnya, dan segera berbalik pada mereka,
“Siapa yang pengecut!?” hardiknya tajam. “Kalian atau kami?” Keith tersenyum sinis. Keith berbalik dan berjalan tanpa menengok ke belakang dengan ketiga adiknya yang mengikutinya, juga ketujuh anak buahnya yang segera membubarkan diri.

Dongkol hati Keith dengan kejadian tadi. Tidak sekali ini terjadi. Hampir setiap hari, dia ditantang oleh mereka, geng-nya Conan yang sudah menjadi musuh bebuyutannya sejak di kelas empat. Untunglah dia memiliki banyak anak buah yang bisa diandalkan kalau terjadi perkelahian dengan mereka. Namun dengan kejadian ini, dia meminta anak buahnya untuk selalu mengawasi Stephen dan Ronan agar tidak diganggu oleh mereka, karena Keith yakin, mereka akan memakai kedua adiknya yang masih duduk di kelas empat ini untuk memancing kemarahannya dan menantangnya. Sementara Shane, dia tidak terlalu mengkhawatirkannya. Shane tidak pernah terpancing dan peduli untuk urusan seperti itu, dan dia bisa menjaga dirinya sendiri. Sekarang tinggal menunggu aksi lanjutan mereka lagi.

*

SMA Grange Community

“Kamu bisa main ben?” tanya Shane, kawan barunya yang mulai dekat.
“Hah?”
“Iya, kamu main alat musik nggak?”
Mikey mengangguk menggantung, “Piano dan Drum.”
“Kamu bisa main drum?” Shane terbelalak.
Mikey kembali mengangguk menggantung.
“Berarti pas, dong. Kita lagi cari orang yang bisa nge-drum. Kamu mau kan gabung sama kita?”
“Gabung?”
“Iya, kamu mau, kan? Ini cuma iseng-iseng aja, siapa tahu kita bisa manggung di pub, kan lumayan buat tambahan uang jajan, ya nggak? Mau kan?”
Mikey berpikir sejenak, tapi akhirnya memberi anggukan bersedia.
“Asyik!! Kita biasa latihan seminggu dua kali tiap hari sabtu, sepulang sekolah, gimana, kamu bisa?”
Sekali lagi Mikey mengangguk.
Shane hanya tersenyum dengan lega menemukan anggota baru untuk grupnya, yang memang sedang dia cari.
*

SD-SMP St. Brigids

Syukurlah, hingga sekolah berakhir, Conan dan anak buahnya tidak memancing keributan dengannya. Tapi saat latihan bermain bola sepulang sekolah, kembali Keith mengalahkan Conan yang sudah pasti membuat Conan semakin geram padanya. Tapi apa mau dikata, bukan salahnya kalau dia bisa mengalahkan Conan. Siapa pun tahu sebagai Kapten kesebelasan, Keith memimpin timnya dengan sangat bagus.


“Ada yang mau main papan ouija lagi?” tanya Keith saat dalam perjalanan pulang ke rumah bersama ketiga adiknya.
Darah Ronan berdesir dingin saat mendengar Keith menyebutkan papan ouija.
“Aku mau!” Shane menyahut dengan semangat.
“Aku juga mau,” Stephen tak mau kalah. “Kamu?” beralih pada Ronan.
Ronan terdiam, wajahnya mulai pucat.
“Ya udah, n’tar malam ditunggu di kamar jam 11,” putus Keith cepat, benar-benar tidak menunggu jawaban Ronan, karena percuma saja, Ronan pasti tidak akan ikut.
“Tapi kan, kita nggak boleh tidur di atas jam 10,” sela Ronan.
“Gimana, sih, ya…keluarnya diam-diam, jangan sampai ketahuan.”
Ronan terdiam.
“Kamu mau ikutan?” tanya Keith.
Ronan menggeleng pelan.
“Kamu takut, ya?” tebak Stephen mengejek.
“Nggak!” protes Ronan cepat. “Jam segitu aku udah tidur, tau! Aku nggak pernah tidur lebih dari jam segitu.”
Stephen hanya mencibir, karena ia tahu Ronan memang penakut.
“Kalian tahu nggak, ini kan malam Jum’at kliwon. Biasanya roh-roh pada berkeliaran setiap malam jum’at kliwon. Siapa tau kita ketemu yang cantik,” Shane tersenyum nakal.
“Iya, kalau yang cantik! Kalau ketemunya yang mengerikan kayak kemarin, gimana!?” protes Keith.
“Emang, kemarin kalian main itu?” Ronan tergagap.
Ketiga kakaknya mengangguk.
“Kita ngarepin yang cantik, malah yang datang cewek mengerikan. Gimana, Stee, wujudnya?”
Stephen berpikir sejenak, mengingat-ingat, “Kurus, warnanya abu, kaki dan tangannya kayak akar panjang dan tajem-tejem, giginya runcing, matanya merah, ….”
Ronan semakin pucat mendengarkan Stephen menggambarkan wujudnya dan terbayangkan di kepalanya. Banshee!
“Dan suaranya…’WAK….WAK….WAK….!!!”
“DIIIEEMMM!!!” pekik Ronan tiba-tiba, mengagetkan Stephen. “Aku nggak mau denger lagi!!” mukanya sudah merah ketakutan.
Shane dan Keith yang melihat wajah ketakutan Ronan langsung meledak tawanya. Ronan semakin cemberut dan mulai terisak.
Melihat Ronan yang mulai begini, dengan terpaksa Keith turun dari sepedanya menghampiri Ronan untuk menenangkannya.
“Udah, nggak pa-pa, cuma boongan, kok. Itu cuma khayalannya Stephen doang. Kemarin kita emang main itu, pas kamu udah tidur, tapi nggak sampai ketemu siapa-siapa. Jangan takut gitu, dong. Udah, jangan nangis,” Keith mengusap-usap kepala pirang adiknya ini.
Masih dengan wajah cemberut, Ronan menghentikan tangisnya dan mengatur nafas ketakutannya.
Ingin rasanya tawa Shane meledak lagi, tapi tatapan mata Keith mengartikannya untuk diam, atau Ronan akan kembali menangis.
“Udah, yuk pulang. Tuh, udah mulai gelap. Kamu nggak mau nginep di sini, kan?”
Dengan cepat Ronan menggelengkan kepalanya.
“Makanya pulang. Yuk.”
Keith kembali ke sepedanya dan menggiring adik-adiknya ini pulang.
Wajah Ronan terus ditekuk selama perjalanan, tapi segera berubah sumringah begitu sampai di halaman rumah dan berlari masuk ke dalam. Keith hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.


Saat makan malam, Keith sempat membisikkan rencana mereka bermain Ouija pada Mikey. Mikey hanya mengangguk setuju dan akan bergabung.

Setelah makan malam, mereka, memiliki ritual keluarga, yaitu bermain musik. Ayah mereka sangat menggemari musik dan dapat memainkan alat musik. Kesenangannya itu menurun pada Mikey, dan alat musik yang ia pegangan adalah drum, walau dia juga bisa bermain piano. Sementara keempat adiknya belum terlalu menunjukkan kesenangan itu, tapi mereka mengikuti kelas seni musik dan vokal grup di sekolah. Ritual ini merupakan saat yang paling menghangatkan bagi mereka, di saat tidak nampak kegarangan dan ketegasan ayahnya yang tertutupi oleh keasyikannya bermain musik dengan anak-anaknya yang bernyanyi bersamanya.


Pukul 10 malam, jam tidur tiba. Mereka tidak diperbolehkan tidur lewat jam 10 malam.


“Malam, sayang,” Evelyn mengecup Stephen yang tertidur di tempat tidurnya, setelah sebelumnya dilakukan pada Mikey, Keith, Shane dan Ronan.
Dengan menghela nafas tersenyum, Evelyn melihat ketiga putranya (Shane, Stephen-Ronan) sudah tertidur dengan tenangnya. Setelah itu keluar kamar tanpa menimbulkan suara.

Beberapa saat setelah pintu tertutup, Shane menyibakkan selimutnya dan bangkit menuju ranjang bertingkat di sampingnya, dimana Stephen dan Ronan tidur.

“Steo, bangun Stee. Jam 11, nih.”
“Huh?” matanya Stephen mengerjap-ngejap terbangun.
“Mikey sama Keith udah nunggu di kamar.”
Masih dengan mata mengantuk, Stephen bangun dan mengikuti Shane keluar dari kamar meninggalkan Ronan sendiri dengan lampu yang dibiarkan menyala.

Dengan mengendap-endap, mereka menuju kamar Mikey. 

Benar saja, saat mereka masuk, Mikey dan Keith sudah menunggu mereka di lantai dengan papan ouija yang siap dimainkan. Penerangan lampu hanya berasal dari empat buah lilin yang diletakkan melingkar (selain memang begitu peraturannya, juga agar tidak diketahui oleh ayah-ibu mereka).
 Shane dan Stephen segera bergabung, duduk di samping Mikey dan Keith yang sudah siap batu segi tiga di atas papan ouijanya

Keith melirik saudara-saudaranya, terlebih Mikey. “Siap?”
Shane dan Stephen mengangguk, terlebih Mikey.
Keith menelan ludah, dengan melirik gugup pada Mikey. Ia sempat menarik nafas dalam-dalam sebelum memulainya.
“Hey, kalian yang ada di luar sana... kami mengundangmu kemari. Hey, kalian yang ada di luar sana... kami mengundangmu kemari,” Keith mengucapkannya hingga tiga kali.
Semua menahan nafas, menunggu apa yang akan terjadi dengan panggilan itu. Mata mereka tidak lepas dari batu segi tiga di ata papan ouija yang dipegang Keith dan Mikey.
Blarrr!!!
“AAAAAA..!!!” Stephen memekik karena kaget dengan suara petir yang tiba-tiba datang dan dilanjutkan dengan suara hujan yang deras di luar sana.
*

“WHOAAAA!!!” Ronan terbangun dengan suara petir yang mengerikan itu. Suara deras hujan terdengar jelas di telinganya. Matanya segera tertuju pada tempat tidur Shane. Tapi dia tidak melihat Shane di sana.
“Shane?”
Ronan langsung beralih pada tempat tidur di bawahnya dimana Stephen tidur.
“Steee?”
Sama, dia juga tidak menemukan Stephen di sana. Menyadari dirinya sendirian di kamar, sementara suara hujan di luar sana sangat menakutkannya, membuat dia mulai ketakutan.
“Shane? Steo?”
Kemudian ia teringat dengan rencana kakak-kakaknya yang akan bermain papan ouija jam 11 ini. Diliriknya jam di dinding, memang sudah jam 11. Berarti Shane dan Stephen ada di kamar Mikey. Mereka sedang bermain papan ouija berarti ada kemungkinan di sana ada roh yang sedang bergentayangan. Dia tidak mau bertemu hantu! Tapi dia juga tidak mau berada di kamar sendirian.
Akhirnya dengan memberanikan diri, Ronan memutuskan untuk menyusul mereka.
Dengan mengendap-endap ia keluar kamar menuju kamar Mikey.
*

BLAR!!!

Petir kembali terdengar menyambar, tapi kali ini mereka tidak lagi takut dan tidak mempedulikannya. Konsentrasi mereka tetap pada batu di atas papan tersebut yang belum juga bergerak sendiri, menandakan: tidak ada yang datang.

Krek…
Suara pintu terbuka. Bulu kuduk mereka langsung meremang dengan mata tertuju pada pintu yang mulai terbuka. Siapa yang datang? Ada dua kemungkinan, makhluk tak berwujud atau orang tua mereka yang menangkap basah mereka. Mereka menunggu dengan tegang.
Kepala kecil berwarna pirang muncul dari balik pintu, “Kak…?” dengan suara lirih dan ketakutan.
Seketika mereka menghembuskan nafas lega.
“Roro! Kamu ngagetin kita aja!” sungut Shane kesal.
“Kalian ninggalin aku,” Ronan menyungut tak mau kalah.
Mikey bangkit dari duduknya menghampiri Ronan, “Ya udah, sini. Tapi janji kamu nggak akan teriak kalau ada apa-apa?”
Sesaat Ronan terdiam, tapi kemudian mengangguk.
Mikey mengangguk lalu mengajak duduk berdampingan dengannya di samping Keith.
Keith kembali memegang batu uoijanya. Sekali lagi Keith mencoba membacakan panggilan. Untuk kali ini mereka tidak terlalu mengharapkannya, karena mungkin tidak akan berhasil. Tapi…
“Batunya bergerak sendiri,” ucap Keith mengagetkan mereka.
“Kamu gerakin, ya?” Mikey berubah pucat.
“Nggak! Dia gerak sendiri!” protesnya. “Ada yang datang.”
Seketika mereka semua menegang dengan tatapan tetap pada batu itu. Ronan beralih pada Shane. Dia tidak mau dekat-dekat dengan Mikey yang notabene memanggil makhluk halus itu.
“Tanya; dia laki atau perempuan, terus namanya siapa?” usul Keith
Mikey hanya mengangguk
Perlahan-lahan batu itu bergerak, berpindah-pindah menunjuk huruf-perhuruf menjadi sebuah kalimat.
*S.a.y.a.p.e.r.e.m.p.u.a.n.P.a.n.g.g.i.l s.a.y.a.S.a.m*
Mereka saling berpandangan mendapatkan jawaban dengan tersenyum senang hampir tidak percaya, sementara Ronan semakin menguatkan pegangannya, tapi kemudian berpindah duduknya, menjauhi Keith. Dia takut.
“Kenapa kamu meninggal?” Shane memberanikan diri untuk bertanya.
Batu itu bergerak lagi. *S.a.y.a. d.i.b.u.n.u.h*
Kelimanya terpaku mengetahui penyebab kematiannya.
Batu itu bergerak lagi tanpa diminta.
*S.h.a.n.e.b.a.j.i.n.g.a.n,s.e.t.a.n.D.i.a.y.a.n.g.m.e.m.b.u.n.u.h.k.u.K.a.l.i.a.n.h.a.r.u.s.m.e.m.b.u.n.u.h.n.y.a*
Mereka semakin terpaku dengan apa yang ia ucapkan, terlebih Shane. Wajahnya langsung pucat, disebutkan namanya sebagai pembunuh perempuan ini.
“Apakah Shane ini yang membunuhmu?” Keith segera bertanya lagi dengan menujuk Shane.
*B.u.k.an*
Seketika Shane lemas bernafas lega, ternyata bukan dia yang dimaksud. Selamat.
Tiba-tiba, sudut mata Stephen menangkap bayangan tak jauh dari mereka. Stephen menoleh memastikan penglihatannya. Dan di sana terlihat bayangan putih. Seorang wanita berambut panjang menatapnya dingin.
Stephen terpaku melihatnya dan tidak bisa bicara apa-apa.
Shane yang sejak tadi memegang tangan Stephen menyadari perubahan suhu tangan Stephen.
“Stee…?”
“Dia… di sini…, aku bisa melihatnya.”
“Jangan ngaco, ah, kamu!”
Stephen menggeleng dengan pucatnya. “Dia…berdiri di sana…”
Mata mereka langsung tertuju pada arah yang ditunjukkan Stephen. Tapi mereka tidak melihat apa-apa.
“Kamu jangan bohong, Stee.”
Kali ini Stephen tak menyahut dan semakin pucat, karena wanita itu semakin dalam menatap dingin matanya.
“AAARRRRGGGGGHHHHH!!!!!!!!!!!!” Stephen menjerit sekeras-kerasnya, mengagetkan setengah mati kesemuanya terlebih Ronan, yang kemudian spontan ikut berteriak dengan suaranya yang melebihi teriakan Stephen tadi. Ronan langsung memeluk kuat Mikey dan tidak ingin melihat ke mana-mana.
Brak!
Pintu tiba-tiba terbuka dilanjutkan dengan lampu yang dinyalakan.
Spontan mereka beralih pada pintu, dan di sana sudah berdiri ayah dan ibu mereka dengan wajah kaget dan cemas. Secepat kilat, mereka menutup papan uoija agar tidak sampai terlihat, juga menendang lilin-lilinnya jauh-jauh.
Stephen melihat bayangan itu menghilang bersamaan dengan lampu listrik yang menyala.
“Mama!!” Stephen segera berlari menuju ibunya dan memeluknya kuat, disusul dengan Ronan.
“Kalian ngapain malam-malam begini belum tidur!?” gertak Mr Breen. Diperhatikannya apa yang sedang dilakukan kelima anaknya. Matanya menangkap sesuatu yang berusaha disembunyikan Keith.
“Keet, kasih papa apa yang ada di belakang kamu,” perintahnya.
Mau tak mau, Keith menyerahkan papan tersebut pada ayahnya.
Peter melirik kedua anak bungsunya yang sangat ketakutan.
“Kalian berhasil memanggilnya, ya?” pada Keith, Mikey dan Shane.
Ketiganya mengangguk.
Peter hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Permainan selesai. Kembali tidur. Shane kembali ke kamarmu.”
Shane menurutinya dan segera kembali ke kamar bersama kedua adiknya yang belum lepas dari pelukan ibunya.
“Apa kita akan dihukum?” Keith penasaran sepeninggal semuanya.
Mikey hanya mengangguk pasti.
*
“Ma, kita tidur sama mama, ya?” pinta Stephen saat ibunya mengantarkannya dan Ronan tidur.
Evelyn memperhatikan mata ketakutan kedua anaknya dengan memohon, dan akhirnya mengangguk.
Bergegas, Stephen dan Ronan berlari ke kamar Ibunya.
*


Keesokan harinya.

Mikey dan keempat adiknya duduk dengan tegangnya saat sarapan. Ayah mereka belum mengucapkan apa-apa sebagai putusan hukuman atas melanggar batas tidur tadi malam, tapi mereka tahu, hukuman itu akan segera dijatuhkan.
Peter melirik kelima putranya satu-persatu membuat kelimanya semakin tegang, terlebih Keith. Tapi kemudian Peter tersenyum,
“Kali ini tidak akan ada hukuman,” ucap Peter membuka suara.
Seketika kelimanya menghela nafas lega.
“Tapi…” Peter memotong.
Mereka kembali menegang, ‘ada tapi-nya?’
“Sebagai gantinya, tidak ada pasar malam. Kalian tidak diizinkan ke pasar malam akhir pekan ini.”
“Hah!?” Shane, Stephen dan Ronan bereaksi dengan keputusan ayah mereka.
“Tapi ini minggu terakhir, pa. Kalau kita tidak pergi sekarang, kita harus menunggunya tahun depan. Papa sudah janji kita boleh pergi ke sana,” Ronan mencoba memprotes.
“Iya, itu dengan perjanjian kalian tidak membuat kenakalan, ya kan? Tapi dengan apa yang kalian lakukan tadi malam, itu membatalkan perjanjian kita. Tidak ada pasar malam.”
“Tapi, pa…?” giliran Stephen yang mencobanya.
“Kalian tinggal pilih, hukuman dari papa atau tidak ada pasar malam?” Peter memberi ultimatum terakhir.
Kelimanya saling berpandangan. Mata Ronan dan Stephen meminta pendapat Keith dan Mikey, tapi balasan mata mereka sudah mengartikan sesuatu. Stephen dan Ronan mengangguk menurut. Mereka tidak punya pilihan lain. Mereka akan lebih memilih tidak pergi ke pasar malam daripada mendapatkan pukulan di pantat mereka sebagai hukuman.
“Tidak ada pasar malam, pa,” Mikey memberi jawaban terakhir, mewakili adik-adiknya.
“Bagus. Persoalan ini selesai, dan tidak akan ada papan ouija. Kalian nggak boleh main itu lagi, atau hukuman menanti kalian. Ngerti?”
Kelimanya mengangguk menurut, tanpa bisa membantahnya.


“Tuh, kan, gara-gara kalian, kita nggak bisa ke pasar malam. Kalian, sih!!” wajah Ronan sudah ditekuk berlipat-lipat sejak meninggalkan rumah menuju sekolah.
“Lho kamu sendiri khan, yang teriak keras banget, bikin mama sama papa bangun!” protes Shane.
“Tapi dia yang teriak duluan!” balas Ronan tak mau kalah dengan menuding Stephen.
“Dia melototin aku!” Stephen membela diri.
“Siapa?”
“Perempuan itu. Kalian nggak lihat gimana matanya melotot terus!” wajah Stephen kembali memucat, mengingat wanita itu. Ronan pun ikut pucat.
“Tuh, khan aku bilang juga apa, nggak usah main gitu-gituan!” sudah hampir menangis.
“Udah, dong, kalian ribut banget, sih. Mana kita tahu, kalau ada yang datang. Biasanya juga nggak ada,” Keith mulai kesal dengan ocehan ketiga adiknya.
“Salah sendiri!” sungut Ronan tak mau tahu. “Pokoknya aku nggak mau ikutan main gituan lagi!”
“Yee, yang ngajakin kamu juga siapa?” Shane masih bersungut-sungut, membuat Ronan semakin cemberut.
“Cukup! Kita emang nggak bisa main papan ouija lagi. Orang, papan-nya aja disimpan papa!”
Mendengar itu Ronan langsung menghela nafas selega-leganya, yang disambut dengan dengusan kesal oleh saudara-saudaranya.
Mikey hanya geleng-geleng kepala melihat keempat adiknya, dan mengayuh sepedanya berpisah dengan mereka.

Tiba di sekolah, Mikey langsung mencari sosok yang sudah selalu memenuhi mata dan kepalanya. Gadis impiannya.

Gadis itu bernama Sharon. Dia berbeda kelas. Mikey tidak tahu perasaan apa ini, tapi apakah ini yang dinamakan cinta pertama? Mikey tersenyum sendiri. Mungkin dia menyukainya. Tapi ia belum berani bertatap langsung dengannya terlebih mengatakan dia menyukainya. Mikey hanya bisa memperhatikan dan memandangnya dari jauh, sebagai pengagum rahasia.

Saat istirahat Mikey tidak melihatnya. Ia pun bersama Shane yang kini sudah menjadi teman dekatnya makan bersama di kantin.
Mereka asyik makan dengan obrolan seputar grup band kecil mereka yang sudah memulai latihan. Mikey memegang gitar.

“Boleh aku duduk di sini?” sebuah suara mengagetkan mereka.
Dan jantung Mike berhenti dengan sosok tersebut. Gadis impiannya berdiri di sampingnya dengan membawa baki makanannya. Mikey hanya bisa terpaku.
“Boleh aku duduk di sini? Meja lain sudah penuh,” tanyanya sekali lagi meliat tidak ada jawaban.
Mikey segera tersadar, “Boleh,” dan memberi tempat di sampingnya.
Sharon duduk di sampingnya membuat Mikey berdebar-debar. Shane menangkap gelagat sahabatnya yang kikuk, dan tersenyum geli. Ditendangnya kaki Mikey.
“Aw!” Mikey membalasnya dengan pelototan.
“Aku Sharon,” tanpa diminta Sharon sudah memperkenalkan diri.
“Oh, aku Mikey. Ini Shane.”
“Hi,” Shane hanya tersenyum.
Sharon tersenyum dengan manisnya.
Tiba-tiba entah bagaimana buah apel yang berada di baki makanan Sharon mengelinding ke bawah.
Refleks, Mikey mengambilnya, tanpa tahu Sharon pun mengambilnya, dan kepala mereka pun saling terkantuk.
“Aw!” keduanya terkaget kesakitan.
Melihat keduanya itu meledaklah tawa Shane. Mikey dan Sharon yang malu harus ikut tersenyum geli sendiri.
“Maaf,” ucap Mikey langsung dan mengambil apel yang jatuh itu, dan menyerahkannya pada Sharon.
“Terima kasih.”
Mikey hanya tersenyum bangga. Pipinya merona senang.
Selanjutnya, mereka makan bersama. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh Mikey.

Dan yang tak terbayangkan lagi, saat pulang sekolah, Sharon meminta Mikey untuk mengantarnya pulang. Tentu Mikey dengan senang hati menerimanya. Dan, sejak itu, mereka selalu bersama. Dan Mikey memberanikan diri untuk mengajak Sharon pergi ke Pasar Malam akhir pekan ini, dan langsung diiyakan oleh Sharon, membuat Mikey serasa melayang di udara. Dia telah mendapatkan gadis impiannya!
***


Ultimatum ‘tidak ada Pasar Malam’ membuat hari-hari Ronan dan Stephen terasa kelabu, terlebih menjelang akhir pekan. Mau nangis juga percuma; mau marah, papa bisa lebih marah lagi, dan mereka tidak mau merasakan pukulan tongkat ayah mereka. Akhirnya mereka hanya bisa membayangkan pasar malam tanpa mungkin dapat pergi ke sana.

“Udah, jangan nangis. Tahun depan juga ada lagi,” Keith berusaha menghibur mereka.
“Nggak mau, kelamaan!” sahut Ronan semakin cemberut.
“Eh, siapa tahu, tahun depan lebih ramai dari tahun sekarang.”
“Nggak mau! Pokoknya gara-gara kalian, kita nggak bisa ke sana. Pokoknya ini semua salah kalian!” pekiknya dan langsung mengayuh sepedanya meninggalkan kakak-kakaknya yang hanya bisa bengong.
Shane melirik Keith meminta pertimbangan. Tapi Keith tetap menggeleng, dan Shane hanya bisa mendesah menerima, terlebih Stephen.

Tapi siapa sih yang bisa tahan melihat wajah sedih si kecil Ronan, walau justru dengan wajah cemberutnya, dia semakin terlihat imut dan menggemaskan. Akhirnya,

“Besok, pulang sekolah kita ke Pasar Malam,” putus Keith pada Shane.
“Tapi papa?”
“Biar aku yang tanggung. Aku nggak tega liat tu anak cemberut mulu. Ntar bisa seminggu dia nggak ngajak aku bicara, lagi.”
“Tapi bener, ya, kamu yang nanggung?” Shane meminta kepastian.
“Iya. Aku akan bilang kita ada acara di sekolah sampai sore, jadi kita pulang telat. Dan kita harus udah pulang sebelum makan malam. Bisa kan?”
“Bisa. Tapi kalau Roro nggak mau pulang gimana?”
“Udah, tarik aja. Gampang kan?”
“Iya, iya.”
“Ya, udah, tapi jangan ceritain ini dulu ke mereka, Ntar mereka ribut lagi di rumah, kamu tahu kan Roro paling nggak bisa jaga rahasia. Bisa-bisa kita semua yang kena. Ya.”
“Ok, bos.”


Keesokan harinya, Keith dan Shane masih merahasiakan rencana mereka, yang tentu saja mendapatkan muka yang semakin masam dari kedua adik mereka. Bagi mereka tidak ada pasar malam, berarti tidak ada keceriaan dan akhir dunia mereka. Dan saat pulang sekolah, Ronan semakin cemberut. Dia bahkan seharian tidak berbicara pada Shane dan Keith, yang jelas-jelas sebagai pencetus ide bermain papan ouija dan menyebabkan ini terjadi. Untuk saat ini, mereka berdua adalah musuh terbesarnya.


Saat pulang sekolah, Keith dan Shane hanya memperhatikan Ronan yang dibiarkan mengayuh sepedanya sendirian di depan mereka. Mereka tahu, Ronan masih marah, sampai tidak ada yang berani mengajaknya bicara. Karena bila dia sudah marah lalu berteriak, burung-burung yang sedang tidur nyaman di sarangnya, bisa jatuh terjun langsung dari atas pohon. Kasihan burung-burungnya.

Saat di persimpangan jalan, sepeda Shane dan Keith menghentikan sepedanya,

“Hey, Ro, mau kemana?” panggil Keith.
Tapi Ronan tidak mendengarkan. Entah tidak terdengar atau tidak mau dengar.
“Roro!” mencoba memanggil.
Tapi tetap tidak mau dengar.

Akhirnya, sebuah siulan panjang dan nyaring dipakai Shane sebagai usaha terakhir. Dan berhasil,

“Apaan, sih!?” dengan kesal, Ronan berbalik.
“Mo kemana? Katanya mau ke pasar malam?” seru Shane dari jauh.
“Ha?” Ronan tercekat.
“Iya.”
“Jangan ngaco ah, kita nggak akan ke pasar malam, kan?”
“Kata siapa? Sekarang kita mau ke pasar malam. Mau ikut nggak?”
Ronan sempat terdiam, “Tapi papa?”
“Papa nggak akan tau. Kita udah pulang sebelum makan malam. Kamu mau ikut, nggak?”
Ronan semakin terdiam. “Tapi bener papa nggak akan tau?”
“Iya, kalau kita bisa pulang sebelum makan malam. Mau nggak?”
Ronan masih berpikir lagi.
“Mau ikut, nggak? Cepetan, jangan kelamaan mikirnya. Keburu malam. Mau nggak?”
“Mau!!!!” Ronan langsung membalikkan sepedanya kembali.
“Tapi, ben…”
“Udah, berisik. Jalan aja,” Keith mengomando adik-adiknya.

Maka mereka pun berempat pergi ke Pasar Malam tanpa izin ayah ibu mereka dan tanpa pengawasan Mikey. Tanggung jawab ada pada Keith sepenuh.

Ronan dan Stephen sudah tersenyum senang saat sepeda mereka memasuki area parkir pasar malam. Mereka lebih tersenyum lagi saat masuk ke dalam pasar malam, dengan Keith memegangi Stephen dan Shane memegangi Ronan agar tidak terlepas.

Keramaian membuat mereka senang. Dengan segala arena permainan dan segala stand makanan. Belum belum Stephen sudah minta ditemani naik komedi putar. Kemudian Shane tertarik dengan permainan menembak botol-botol berhadiah boneka dan topi-topi. Shane 2 kali memenangkannya dan mendapatkan 2 buah topi yang langsung dipakainya dan satu dipakaikan pada Ronan. Keith tertarik dengan arena kekuatan menggunakan palu. Walau tidak menang, lumayan, garis pukul Keith hampir mengenai lonceng merah di puncak.
Sementara Ronan tertarik dengan memasukkan bola dengan menggunakan tongkat, semacam crickets, dan berhasil memenangkannya. Sebuah boneka jerapah besar didapatnya dan langsung diminta oleh Stephen. Sempat jadi rebutan karena Ronan tidak mau berbagi dengan Stephen, hingga Keith harus turun tangan untuk ikut permainan dan memenangkan 1 boneka lagi untuk Stephen. Untunglah boneka tersebut bonek anjing yang lucu, kesukaan Stephen.
Mereka juga membeli harum manis yang besar dan sekantung besar pop corn untuk mereka berempat. Mereka bersenang-senang, dan melupakan kemarahan ayah mereka bila mereka ketahuan pergi ke pasar malam.

Karena kelelahan Stephen sampai meminta gendong di pundak Keith yang besar. Stephen semakin tersenyum senang dengan posisinya yang tinggi dan dapat melihat keramaian ini dari atas.
Keith lebih senang lagi, karena dia bisa melihat senyum merekah pada adik kembarnya ini. Dia paling tidak bisa kalau melihat adiknya cemberut.

Hingga sudut matanya menangkap segerombolan anak-anak yang ia kenal. Anak-anak genk Conan. ‘Gawat, nggak mungkin gw bisa ngadepin mereka yang lebih dari 10 orang sendirian’ Dan dia membawa Stephen dan Ronan, tidak mungkin dia melibatkan keduanya. Mereka masih kecil. Dia harus segera berpisah dengan adik-adiknya.
Keith segera menurunkan Stephen dari pundaknya.
“Titip bentar, ya aku ke sana dulu.”
“Mau ke mana?” Shane protes.
“Tuh,” Keith menunjukkan gerombolan itu yang belum menyadari keberadaan Keith di sana. “Kalian pulang aja dulu. Lagian udah mau malam, nanti ketahuan papa, lagi.”
“Tapi_”
Keith belum sempat menjawab saat terdengar teriakan,
“Hey, itu si brengsek Keith!” pekik seseorang dari mereka dan langsung semua mata mengarah padanya.
Tanpa berpikir panjang Keith langsung menurunkan adiknya dari pundaknya, “Lari!!” seraya mengajak adik-adiknya melarikan diri.
Melihat mereka melarikan diri, genk Conan langsung mengejarnya.

Keith dan Shane terus berlari meyelamatkan diri dengan menggandeng kuat kedua adiknya diantara keramaian pasar malam.
Tapi Keith tahu, tidak mungkin mereka berlari terus, terlebih Stephen. Dia tidak kuat berlari.
Beruntung matanya menangkap salah satu anak buahnya, dan dia punya feeling, ada beberapa anak buahnya berada di sini.
Dengan sekali siulan yang keras, entah dari mana, anak buah Keith bermunculan, dan mereka hanya berjumlah 5 orang. Mau tak mau mereka akan mengahadapi genk Conan, dan tak mungkin Keith melibatkan adik-adiknya.
“Shane, bawa kembar pulang! Langsung pulang jangan ke mana-mana, ya!”
Shane hanya mengangguk, dan langsung membawa kedua adiknya pulang membiarkan Keith membereskan genk anak nakal itu.

“Yuk cepetan,” Shane bergegas menggandeng kedua adiknya untuk pulang,
*J.A.N.G.A.N..P,U.L.A.N.G .D.U.L.U.* tiba-tiba sebuah suara terdengar llirih oleh Stephen disertai kemunculan sosok wanita berbaju putih di hadapan Stephen. Tapi tidak ada wajah marah dan benci di sana, melainkan wajah sedih dan memohon bantuan.
*T.O.LO.N.G.B.AN.T.U.A.K.U.*
Stephen jadi kebingungan. “Apa yang bisa aku bantu?”
Shane terkaget. “Stee, kamu ngomong sama siapa?” seraya memperhatikan anak Genk Ronan. Untunglah mereka sudah diladeni oleh Keith dan anak buahnya.
“Itu… perempuan itu muncul lagi.”
“Hah?”
“Di depan aku.”
Ronan pucat seketika. Ia mendekap erat lengan Shane. “Pulang, yuk, Shane…” mulai merengek.
Stephen kebingungan. Tapi hantu perempuan ini menggeleng penuh harap.
*B.A.N.T.U. A.K.U*
“Dia minta kita bantu dia.”
“Bantu apa? Tanya dia.”
“Bantu apa?” tanya Stephen.
*K.A.M.U. L.I.H.A.T. S.T.AN.D. R.A.M.A.L. D.I. S.A.N.A. T.E.M.U.I. D.I.A, D.I.A. Y.AN.G. B.I.S.A. B.A.N.T.U.K.I.T.A*
“Kenapa nggak kamu saja yang ke sana, dan ketemu peramalnya?”
*K.A.R.E.N.A H.A.N.Y.A .K.A.M.U .Y.A.N.G .B.I.S.A.S.A.Y.A.A.J.A.K K.O.M.U.N.I.K.A.SI.*
“Kenapa?”
*A.K.U.J.U.G.A.T.I.D.A.K.T.A.HU.S.E.K.A..R.A.N.G.K.A.L.I.A.N.M.A.U.K.A.N.K.E.S.A.N.A B.A.N.T.U A.K.U?*
Stephen menoleh pada Shane. “Dia mau kita ke stand peramal itu dan menanyakan pada dia.”
Shane jadi bingung. “Tapi papa, Stee. Kita harus pulang cepet.”
Stephen sebernarnya juga ingin pulang, tapi melihat wajah sedih perempuan. “Dia nangis, Shane.”
Shane semakin bingung. Sementara Ronan semakin merengek. “Pulang, yuk…”
Shane sudah siap mengangguk, saat ia mendengar teriakan mengarah padanya. ”KEJAR ADIKNYA!!!!”
Shane langsung panik, dia harus mengamankan kedua adiknya.

”Masuk ke stand!” seru Shane dengan menarik tangan
“GAK MA_” belum sempat Ronan menyelesaikan teriakannya, mulutnya sudah disumpal Shane dan menarik tubuh kecilnya ke dalam stand.

Sekejap mata, mereka bertiga sudah berada di dalam tenda yag temaram dan berbau aroma yg aneh.
Ronan langsung menempel kuat di ketiak Shane, matanya terpejam kuat menempel di baju Shane, sementara Stephen antara takut dan penasaran, malu-malu melihat keadaan di dalam tenda.
Tangan Shane yang kiri mengapit kuat tubuh Ronan sementara tangan kanannya memegang erat tangan Stephen dengan matanya menyapu waspada sudut-sudut tenda ini.

Mata keduanya terpaku pada meja bundar beralaskan kain warna-warni dengan bola kristal ditengahnya. Seorang wanita gypsi dengan penampilan yang aneh duduk di sana. Shane yakin perempuan itu adalah ahli nujum.

Ronan perlahan-lahan memberanikan diri untuk ikut melihat sekelilingnya, tapi langsung kembali ke dalam perlindungan Shane saat sepasang mata tajam yang tertuju padanya.
“Huwaaa, pulang yuk...” Ronan kembali merengek.

“Mendekatlah kalian, jangan takut, aku tahu tujuan kedatangan kalian....,” wanita gypsi itu tersenyum dengan manisnya.

Stephen membalas senyuman itu, dan melirik ragu pada Shane. Tapi kemudian Stephen kembali melihat sosok wanita dengan wajah sedihnya.

“Mari mendekat sini ....”

Stephen menguatkan pegangan tangannyakan dan perlahan-lahan mendekati meja tersebut.
Ronan merasakan tubuhnya ditarik perlahan. Ia tahu, mereka mendekati wanita aneh tersebut. Ia mengintip sedikit.

“Lihatlah kalian bertiga, tampan dan lucu. Terlebih yang ini,” seraya mengarah pada Stephen.

Dengan sigap, Shane menarik tangan Stephen ke belakang tubunya.
“Kami kemari karena ada yang minta bantuan kami,” Shane berucap.
Wanita gypsi itu tersenyum. “Saya tahu. Makanya, medekatlah.”

Dengan sedikit ragu Stephen kembali mendekat dengan tetap Shane memegang tangannya untuk berjaga-jaga.

“Siapa namamu, manis?”
“Stephen,” jawabnya malu-malu.
Wanita itu kembali tersenyum. “Aku Magnolia. Nah ceritakan apa yang kau lihat ....,”


***

Dengan terengah-engah dan berpeluh, Keith menghentikan larinya dan melihat keadaan sekelilingnya yang terlihat aman dari kejaran polisi. Dia akhirnya bisa melarikan diri dari kejaran polisi yang membubarkan perkelahiannya dengan gank-nya Conan. Perkelahian antara Keith and the gank dengan Conan and the gank tidak dapat didielakkan.12 lawan 5. Keith kalah jumlah tapi bisa dengan cepat dikalahkan, hanya saja sebelum sempat diselesaikan terdengar peluit polisi dengan beberapa polisi mengejar mereka dan langsung membubarkan diri, lari tunggang langgang menyelamatkan diri, terlebih Keith. Dia tidak boleh sampai tertangkap polis dan melaporkan pada ayahnya. Bisa mati digantung dia oleh ayahnya kalau ketahuan dia adalah ketua gank yang sering berbuat onar, meski tidak selalu dia penyebabnya, tapi ayahnya tidak akan mendengar. Hanya akan menambah panjang daftar hukuman menunggu, terlebih bila ayahnya tahu, ia yang mengajak ketiga adiknya pergi ke Pasar malam setelah ayahnya dengan jelas melarang mereka untuk pergi ke sana sebagai hukuman mereka main papan Ouija.
Ia langsung teringat pada ketiga adiknya. Pastinya mereka sudah sampai di rumah dengan aman sebelum gelap. Sekarang tinggal mencari alasan kenapa dia sampai pulang terlambat. Yang penting Shane, Stepen dan Ronan tidak akan terkena marah, biarlah dia sendiri yang menanggungnya.
Dan ia harus tersenyum puas, karena sekali lagi ia bisa mengalahkan gank Conan, meski ia tahu pertarungan ini belumlah berakhir, besok pasti akan dilanjutkan sepulang sekolah. Keith menghela nafas, dan haru meringis dengan perih dan linu di rahang, bibir dan pelipisnya, akibat hantaman tangan Conan, dan ia tahu, darah masih menetes sesekali dari bibirnya. Ia langsung menghapusnya dengan berharap lukanya cepat mengering, dan bergegas pulang seraya menyiapkan diri akan hukuman ayahnya.
**

Mikey berjalan pulang dengan wajah berseri-seri. Ia baru saja mengantarkan Sharon pulang. Mikey benar-benar tidak percaya, ia bisa mengantarkan pulang gadis yang ia suka dari pertama ia masuk sekolah ini, dan baru tadi pagi mereka bersapa, lalu berbincang sebentar, dan sekarang ia sudah mengantarkan pulang.

“Huwaaa!!!” Mikey gemas sendiri dengan terus senyum tersungging di bibirnya. Dia sudah tidak sabar untuk melihat Sharon besok di sekolah. ‘Oh,beginikah yang namanya jatuh cinta’ pipi Mikey kembali memerah. Tapi langsung teringat ia harus sampai di rumah sebelum makan malam. Diliriknya jam tangannya; jam 18:30,
“Wah, telat gua...,” dengan meringis membayangkan ayahnya akan marah kalau ia sampai terlambat pulang. Dipercepatnya kayuhan sepedanya begitu melihat rumahnya sudah tak jauh lagi.

Mikey menaruh sepedanya di garasi dengan pelan-pelan tanpa menimbulkan suara dan langsung masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang.

“Aku pulang!” serunya membuka pintu.
“Mikey, kau dengan adik-adikmu?” pertanyaan langsung menyambut dari ibunya yang menunjukkan wajah cemas.
Mikey tertegun dan melirik ke seluruh ruang makan ini, “Mereka belum pulang, ma?”
“Belum.”
“Mike, mana adik-adikmu!?” ayahnya bertanya dengan tegas.
“Nggak tahu, pa, aku nggak pulang bareng mereka. Keith yang pulang bareng mereka,” Mikey mulai kebingungan.
“Kalian nggak janjian pulang bareng?” Evelyn tidak bisa menyembunyikan wajah cemasnya.
“Nggak ma, aku pulang jam 5, mereka jam 2 udah pulang.”
“Jam 2? Mana, jam segini mereka belum pulang!”
“Mungkinkan mereka pergi ke pasar malam?” Evelyn langsung menduga.
“Nggak mungkin, mereka sudah dilarang untuk pergi ke sana, dan mereka tahu konsekuensinya kalau dilanggar.”
Mikey menelan ludah benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Tapi entah, perasaannya mengatakan mereka berempat ada di sana. ‘Waduh, aku nggak ikutan, deh’

*

Jantung Keith berpacu dengan kencang saat menaruh sepedanya di garasi dan masuk ke dalam rumah dengan mengendap-ngendap dan mengendap-endap

“KEITH!!!!” seruan mengerikan menyambutnya saat ia membuka pintu. Keith nyengir pasrah, dan semakin mengerikan dengan wajah garang ayahnya menyambutnya. Ayahnya marah besar, dan kemungkinan penyebabnya hanyalah Ronan memberitahukan kepergian mereka ke pasar malam. Atmosfir dingin dan tegang langsung terasa dengan ayah ibunya juga Nanny dan Mikey seperti menunggunya pulang.
“Biar aku jelasin, pa!” sahutnya langsung sebelum ayahnya mencecarnya.
“Keith, mana adik-adikmu?” wajah dan suara cemas ibundanya langsung membuatnya terpaku.
Keith menyapu matanya ke seluruh ruangan, tidak terlihat tanda-tanda keempat adiknya ada di rumah, dan langsung pucat. ‘Mati gue’
“Mereka belum pulang?” Keith berbalik tanya dengan wajah pucat.
“Belum!” Keith yakin, ibunya bisa terkena serangan jantung kalau sampai malam kedua anak kesayangannya belum pulang
“DARI MANA KAMU!!!???”.
Keith semakin terpaku pucat, “Ng....,” ia bingung bagaimana menjawabnya. Ia melirik Mikey yang menunggu jawaban tepat .
“Kamu nggak pulang dengan mereka?” ibunya bertanya sebelum sempat Keith menjawab.
“Nggak ma. Tapi ada Shane,kan?” dengan berharap cemas.
“Kamu tinggalin mereka dengan Shane?” ibunya terbelalak tidak percaya.
Keith menyeringai ‘ups, jawaban yg salah’.
“Ya, Tuhan,” Evelyn langsung jatuh menangis. “Bagaimana kalau mereka diculik?”
“Mikey, kamu ikut papa, kita cari mereka. Dan kamu Keet, jangan kemana-mana, temenin mama, dan tunggu hukumanmu!”
Keith masih terpaku, saat ayahnya mengambil jaket.
Tiba-tiba suara telepon rumah mengagetkan mereka. Semua terpaku dengan mata tertuju pada telepon di atas meja.

Peter langsung mengangkatnya

“Peter Breen di sini.” Peter menjawab dengan sabar
“Selamat Malam, Tn Breen, kami dari kepolisian_”
Peter terpaku pucat dengan darah berdesir dengin, “kepolisian?” yg jelas memberikan efek tegang dan pucat pada semua yang ada di sana. Sementara Evelyn semakin panik.
“Anda memiliki putra bernama, Shane, Ronan, dan Stephen?”
“Yea, tiga-tiganya anak saya, ada apa dengan mereka? mereka terlibat masalah? apakah mereka baik-baik saja?”
“Tenang, pak, mereka baik-baik saja, dan mereka tidak terlibat masalah?”
“Lalu?”
“Semuanya akan kami jelaskan di sini.”
“Baiklah, saya akan segera kesana.”
“Baik, kami tunggu. Terima kasih, pak.”

Peter menutup telepon dengan tidak sabar, dan memberi tanda pada Mieky untuk ikut dengannya.

“Aku ikut!” seru Evelyn.
“Jangan, Eve.”
“Nggak, pokoknya aku ikut, mereka pasti ketakutan, mereka butuh aku ....”
“Kita masih belum tahu kenapa mereka ada di sana Eve.”
“Makanya aku harus ikut, mereka pasti membutuhkan aku, Stephen – Ronan mereka pasti ketakutan....,” Evelyn kembali menangis,

Dan semua tahu, tidak ada yang bisa menahana keinginan Evelyn.
Peter mengangguk, “Keet, kau ikut juga “
Keith hanya mengangguk dan ikut di belakang mereka bergegas ke kantor polisi


Perjalanan ke kantor polisi adalah perjalan yang terlama yang mereka rasakan. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui di kantor polisi nanti. Apakah, akan melihat Shane dan si kembar di balik terali besi, atau melihat mereka duduk ketakutan diinterogasi, atau mereka yang terluka.

Keith semakin tersiksa dengan rasa bersalah dan takut. Sudah pasti, ia akan terkena marah nanti.

Evelyn terus berdoa selama perjalanan, mengharapkan sesuatu hal buruk tidak terjadi pada ketiga bayinya.

Setiba mereka di kantor polisi, Peter langsung berlari masuk ke dalam diikuti Evelyn, Keith dan Mikey di belakang.

“Selamat malam, saya Peter Breen, saya orang tua dari Shane, Stephen dan Ronan _ “ Peter berucap berusaha tenang ditengah kepanikannya pada seorang petugas yang berada di balik meja depan.
“Oh, tiga malaikat kecil itu,” sebuah suara dari samping mengagetkan mereka, sebelum sempat petugas itu menjawab,
Peter menoleh dan tertegun dengan terheran,’Malaikat kecil’
“Maaf, sebenarnya apa yang terjadi dan di mana mereka?”
“Tenang, pak, putra-putra bapak dalam keadaan baik-baik saja.”
Keempat anggota keluarga Breens, semakin tertegun.
“Saya, Cpt. John Riggs. Izinkan saya menjelaskannya.”
Peter menunggu dengan tidak sabar.
“Ketiga putra bapak baru saja membantu pengungkapan kasus pembunuhan yang terjadi 5 tahun yang lalu.”
Keempat pasang mata itu terbelalak kaget, terlebih Evelyn.
“Kasus pembunuhan? Maksud bapak?”
“Ya, ketiga putra bapak memberi petunjuk akan adanya mayat korban pembunuhan yang sengaja ditenggelamkan di sungai.”
“Tapi bagaimana mereka bisa melakukannya?”
“Salah satu putra bapak menjadi penghubung antara kami dengan roh korban tersebut yang ingin jenasahnya segera ditemukan dan pelakunya pun segera ditangkap. Berkat kemampuan Indra keenam putra bapak, kasus yang terjadi 5 tahun yang lalu dapat terungkap.”
Hampir berhenti jantung Evelyn mendengarnya. Her babies!?
“Tapi tenang saya, identitas ketiga putra bapak, sangat aman sebagai saksi kami, dan kami akan memberikan perlindungan penuh pada mereka. Kami sangat berterima kasih atas bantuan putra-putra bapak,”
Peter hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Anak-anaknya yang masih berumur 11 dan 10 tahun tahun membantu polisi???
Mike dan Keith saling lempar pandang tidak percaya.
Evelyn semakin tidak tenang dengan keadaan ketiga putra tersayangnya, mereka pasti sangat ketakutan, terlebih Steo dan Roro.

“Kalau boleh tahu, putra saya yang mana, pak, yang menjadi penghubung dengan makhluk itu?” Peter penasaran.
Belum sempat Cpt. Riggs menjawab, terdengar suara kecil tak jauh dari mereka. “Ma?”
Ketiganya langsung menengok ke arah suara, dan terlihat wajah lelah kecil Stephen bersama seorang petugas wanita yang menggandeng tangannya.
“Yang itu,” jawab petugas itu dengan tersenyum.
Stephen melepaskan tangannya dari petugas cantik itu, dan berlari ke arah ibunya.

“Baby...,” Evelyn menyambut putra tersayangnya dengan suka cita dengan penuh kelegaan dan langsung dipeluknya kuat. “Steo, sayang, kamu nggak papa-pa,” dengan memeriksa keadaan tubuh Stephen.
Stephen menggeleng lemah.
Evelyn menghela nafas lega dan menciumi kepala Stephen.
Peter tidak bisa menyembunyikan kelegaan melihat si bungsu dalam keadaan baik-baik saja meski terlihat kelelahan, tapi di mana yang lainnya?
“Mana Ronan dan Shane?”
Stephen menunjuk ke arah dalam kantor, membuat mereka tergerak untuk melihat ke dalam.

Dan mereka terbengong dengan menemukan sosok kecil Shane dan Ronan sedang asyik bersama dua orang petugas yang sedang meperlihatkan senjata mereka. ‘Hah? Yang benar saja!’ Peter tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Dan kedua putranya tampak mengagumi dan menikmati cerita petugas itu.

“Shano, Roro?” panggil Peter.
Keduanya langsung mendongak begitu mendengar suara ayah mereka, dan melihat ke arah suara.

“MAMA!!!” Ronan memekik kegirangan, begitu melihat ibunya datang bersama ... seluruh keluarganya, dan langsung berhambur ke pelukan ibunya yang sudah ada Stephen di sana.

“Roro,” Evelyn menyambut penuh suka cita putra kesayangan yang satu ini.
Sementara Roro menghambur ke arah ibunya, Shane menuju ayahnya.

Peter memeluk erat Shane, “Shane, kau tidak apa-apa, nak?”
Shane menggeleng dengan tersenyum.
Peter tersenyum lega dan kembali memeluk putranya erat.

***

Ketujuh anggota keluarga Breen keluar bersama dari kantor polisi.

Setelah membereskan segala pesoalan dengan pihak kepolisian, ketiga putra Breen boleh meninggalkan kantor polisi dengan jaminan penuh identitas mereka sebagai saksi dijaga penuh.

Stephen berada di gendongan ibunya, sementara Ronan berada di gendongan ayahnya. Shane berada di samping ayahnya dengan tangan merangkul hangat putra ketiganya. Ronan dan Stephen tidak henti-hentinya menceritakan petualangan mereka dengan semangat membantu polisi menemukan jenasah itu. Sementara Shane tak henti-hentinya mengungkapkan kekaguman akan pistol-pistol yang dimiliki polisi-polisi itu, menurutnya senjata mereka sangatlah keren. Peter dan Evelyn menanggapinya tak kurang semangatnya dengan semangat ketiga bayi mereka bercerita Mereka tahu ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi ketiganya, dan Evelyn dan Peter tak dapat menutupi kebanggaan yang dirasakan, terlebih dengan kelegaan Shane, Stephen dan Ronan dalam keadaan baik-baik saja, tanpa kurang satu apapun.

Sementara Shane, Stephen dan Ronan sibuk menjadi perhatian kedua orang tua mereka, Mikey dan Keith berjalan di belakangnya, mendengarkan celoteh ketiga adiknya. Ada perasaan bangga di sana.
Mikey tersenyum sendiri jika harus membayangkannya. Ia menyenggol tangan Keith.

“Ada hikmahnya juga, kau tinggalkan mereka, Keet,” dengan tersenyum jail.
Keith hanya tersenyum kecut. Meski semua berakhir dengan penuh heroic, Keith sangat menyesali telah meninggalkan mereka bertiga seperti itu.Kalau saja, bukan cerita itu yang terjadi, bisa saja, mereka bertiga terluka, hilang, atau bahkan terbunuh. ‘hiii’, Keith tidak mau membayangkannya. MIMPI BURUK.
“Keith, inget,kita belum selesai, nak,” suara ayahnya menyahut dingin dan tegas, mengagetkan Keith. Dan ia tahu maksudnya, konsekuensi mengajak ketiga adiknya ke pasar malam dan meninggalkan mereka di pasar malam, belum lagi nanti kalau ayahnya mengetahui ia meninggalkan adik-adiknya untuk berkelahi. HUWAA!!! LENGKAP, DEH!
“Ya, pa,” Keith menunduk lemas, bersiap dengan segala hukuman yang akan dijatuhkan.
Mikey melihat kecut dan pasrah di wajah adiknya. Dirangkulkan tangannya ke pundak Keith,
“Jangan takut, Keet, ada aku, key ....,” dengan senyum menenangkan.
Keith tersenyum lega, “Trims”, meski ia tahu, Mikey tidak akan membantu banyak, tapi dukungan penuh sudah sangat membantunya.

Dengan begitu mereka pulang ke rumah.






1 komentar: