The Breens Brother

The Breens Brother
Breens Brother

Sabtu, 02 Oktober 2010

1. Si Kembar Yang Tidak Diharapkan

3 Juli 1977

    “Uh, heiiikkk, aw, uh!!!!”
    “Ayo sayang, kamu pasti bisa,” Peter terus memberi semangat pada Evelyn.
Evelyn mengatur nafasnya yang sudah di ujung tali.
    “Nggak, aku nggak bisa. Aku sudah nggak kuat lagi,” sahut Evelyn di tengah peluh dan sakitnya.
    “Ayo, tinggal sedikit lagi.”
    “Sedikit lagi? Dua jam yang lalu kamu bilang begitu, tapi mana? Sampai sekarang dia nggak keluar juga!” Evelyn mulai kesal. Bayi yang di dalam perut ini tak kunjung keluar, padahal ia sudah menahan rasa sakitnya ini sejak 8 jam yang lalu.
    “Ayo, satu dorongan lagi, dia akan keluar.” Peter tahu, tidak mudah Evelyn melakukannya kali ini. Rasa sakit yang dirasakan istrinya, bisa ia rasakan juga. Sang bayi dalam posisi terbalik dan juga terlilit tali pusar yang menghalangi perjalaNannya keluar. Namun setelah dokter memutar kembali posisinya, juga melonggarkan lilitan tersebut, si bayi akan dengan mudah dilahirkan, dan ini yang sedang diperjuangkan Evelyn.
    “Ayolah, nak, cepat keluar, jangan bikin mamamu kesakitan lebih lama lagi,” Peter berbicara pada bayinya.
    “Denger kata papamu itu! Kamu mau keluar, nggak!?” Evelyn sudah tidak bisa menahan kekesalannya.
Peter hanya bisa geleng-geleng kepala, lihat emosi istrinya yang sudah memuncak.
    “Ya’, kepalanya sudah keluar. Tinggal satu dorongan lagi, dia akan keluar,” Dr. Cowell memberi instruksi di bawah kakinya.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Evelyn berusaha mengeluarkan bayinya.
Akhirnya si bayi lahir juga disertai suara tangisannya yang lumayan kencang.
Tubuh Evelyn lemas semua begitu mendengar tangisan bayinya yang nyaring, melegakannya. Untuk yang ketiga kalinya, perjuangan dan penderitaannya berakhir juga.
    “Bagus, sayang, bagus,” Peter memberi kecupan di kening Evelyn.
    “Laki-laki, pak,” seorang suster menyerahkan bayi merah yang sudah dibersihkan itu kepada Peter.
    “Laki-laki lagi?” Peter tak dapat menahan gelinya. Ini yang ketiga kalinya ia mempunyai anak laki-laki. Dengan penuh kasih sayang Peter menggendong bayi mungil itu,dan memandangnya.
    “Evelyn, kuperkenalkan, ini Shane,” seraya menyerahkannya pada Evelyn.
Evelyn menerimanya dengan sangat bahagia. Rasa sakitnya langsung hilang, begitu melihat wujud tampan yang ia berusaha lahirkan tadi.
    “Laki-laki lagi, Peter?”
Peter mengangguk,
    “Keluar juga, kamu, nak,” Evelyn tersenyum pada bayinya, dikecupnya dengan hati-hati.

Evelyn belum bisa berlama-lama memeluk bayinya. Ia harus segera masuk ke ruang perawatan, sementara si kecil diperiksa kembali.
Setelah masuk ke ruang perawatan, Evelyn dapat kembali mengendong bayinya.

    “Dia tampan sekali, Peter,” Evelyn penuh dengan rasa bangga.
Peter mengangguk, “Ya, dia memang tampan.”
    “Lihat alisnya, tebal sekali.”
Evelyn tersenyum seraya mengelus alis di mata bayinya yang tebal.
Dengan penuh kebanggaan Peter memandang bayinya. Walau bukan pengalaman pertama, tetap saja berbeda rasanya menyambut kelahiran anak sendiri.
    “Shane Eamon Mark Stephen Breen, selamat datang di keluarga Breens,” ucap Peter dengan bangga.
Evelyn tersenyum bahagia dan puas dengan nama yang diberikan. Setelah Michael Christopher Charles Breen dan Keith Peter Thomas Francis John Breen, sekarang Shane Eamon Mark Stephen Breen
Peter mengecupkan di bibir Evelyn. Kemudian Evelyn kembali pada Shane.
    “Ksatriaku yang ketiga, dan yang terakhir” ucapnya penuh rasa bangga.
    “Yang terakhir?” Peter tercekat.
    “Iya, ini yang terakhir. Aku nggak mau lagi,” sahut Evelyn pasti. “Cukup,” tersenyum lebar.
Peter terdiam.
Evelyn menangkap ke-diaman suaminya, “Kamu masih pengen punya anak lagi?”
Peter kebingungan. “Aku ingin punya anak banyak. Aku nggak mau kesepian lagi.”
Evelyn tersenyum kecil, mengerti keinginan suaminya. Peter yang terlahir sebagai anak tunggal, sudah merasakan hidup sendiri tanpa saudara. Karena itu, ia ingin memiliki anak banyak sebagai gantinya.
    “Tapi kan, yang punya anak nggak cuma kamu saja.  Aku yang melahirkan mereka, Peter. Aku yang merasakan sakitnya. Bukannya aku mengeluhkan itu semua, tapi masih belum cukupkah Mikey dan Keith, dan ini anggota baru kita, Shane? Mereka bertiga sudah cukup memenuhi rumah kita. Kamu nggak akan kesepian.”
Peter terdiam, tapi langsung tersenyum, “Yah, mungkin kamu benar, Evelyn. Mikey, Keith dan Shane sudah lebih dari cukup. Aku nggak akan kesepian. Mereka akan meramaikan rumah kita.”
Evelyn mengangguk dengan tersenyum,
    “Cukup tiga aja, kan?” Evelyn memastikan.
Peter mengangguk pasti.
Evelyn langsung memeluk suaminya dengan suka cita, “Terima kasih.”
    “Aku yang harusnya berterima kasih. Terima kasih, Evelyn.” Kemudian mengecup bibir istrinya dengan penuh cinta.
    “Papa!” Mereka dikejutkan dengan munculnya dua anak kecil masuk dengan berlari ditemani Nanny.
    “Kalian. Sini, lihat adik baru kalian,” sambut Peter dengan kemunculan Mikey dan Keith. Peter langsung menggendong Keith, agar dapat melihat lebih jelas lagi, sementara Mikey, naik ke tempat tidur dan duduk di samping mamanya.
    “Laki-laki, Nan,” ucap Peter dengan pasrah pada Nanny.
Nanny mengangguk dengan tersenyum ikut bahagia.


                Tiga hari kemudian, Shane sudah diperbolehkan pulang ke rumah dan menjadi bagian keluarga Breens. Peter sudah merasa hidupnya lengkap. Pekerjaannya sebagai mekanik di bengkelnya sendiri yang mapan, dengan ekonomi yang mencukupi, kemudian memiliki istri yang cantik dan baik, dan juga tiga putranya yang sehat-sehat. Mikey 4 tahun (siap masuk sekolah pertamanya), Keith 2 tahun, dan Shane yang baru saja lahir. Evelyn benar, mereka sudah lebih dari cukup. Dia tidak akan kesepian lagi, terlebih Nanny yang tidak akan pernah meninggalkannya. Nanny yang sudah mengasuhnya sejak ia berumur tiga tahun, hingga kini.  Bahkan setelah ia menikah pun dan memiliki anak, Nanny tidak meninggalkannya. Justru sekarang dia yang membantu Evelyn, mengasuh Mikey dan Keith.
Hidup tidak ada yang sesempurna ini.
***


                Evelyn menimang-nimang Shane dengan Mikey tertidur di pangkuannya, sementara Keith sedang asyik bermain sendiri, saat ia merasakan ada yang tidak beres dengan perutnya. Badannya pegal dan perutnya mual. Perasaannya pun tidak enak. Mungkin ia masuk angin. Maklum, sejak kedatangan Shane, bebannya sebagai seorang ibu bertambah, ditambah setiap harinya dia juga harus mengantarkan Mikey ke sekolah. Tapi ia tidak mengeluh dia, justru menikmatinya.
Evelyn sudah tidak kuat lagi.
    Nany!”
Tak lama kemudian Nanny. datang, dan Evelyn segera menyerahkan Shane kepada Nanny. ia segera bangkit dan hampir saja ia melupakan Mikey, yang tertidur di pangkuannya. Evelyn langsung berlari ke kamar mandi.  
    “Mama kenapa?” Mikey terheran.
    Nany juga nggak tahu, Peter” Nanny yang sama herannya.
Kemudian dari kamar mandi terdengar Evelyn memuntahkan sesuatu.
    “Mama mau punya adek lagi, ya?” tebak Mikey. Ia masih ingat sebelum Shane lahir, mamanya juga seperti ini, kemudian perutnya membesar, dan keluarlah Shane.
Nanny hanya diam mendengar tebakan Mikey. Mudah-mudahan bukan hamil lagi.
*

    “Nggak, Pete, aku nggak mau mempertahankan ini,” putus Evelyn setelah dengan positif dinyatakan hamil lagi untuk yang keempat kalinya. Umur kandungannya sudah jalan tiga bulan.
    “Kamu mau menggugurkannya, Evelyn?”  Peter tak percaya.
Evelyn tidak menjawab. Air matanya mulai mengalir.
    “Ini anak kita, Evelyn, buah cinta kita.”
    “Aku tahu. Tapi bukankah aku sudah bilang, Shane yang terakhir. Lagipula ini terlalu dekat, umur Shane masih lima bulan, dan rasa sakit saat melahirkannya masih terasa. Kamu harus merasakan sendiri bagaimana rasanya melahirkan!” Evelyn berusaha menahan emosinya.
Emosi Evelyn terkagetkan dengan suara tangisan Shane. Evelyn mengatur nafasnya, kemudian meninggalkan Peter menuju kamar Shane.
Peter terduduk dengan keputusan Evelyn. Dia tidak percaya, Evelyn berniat menggugurkan kandungannya, anaknya sendiri? Memang, jarak Shane dengan calon adiknya ini terlalu dekat, bahkan bisa jadi tidak sampai setahun bila lahir nantinya. Tapi itu bukan menjadi alasan. Mungkin Tuhan akan memberinya empat anak. Dan bila itu terjadi, ia akan dengan senang hati menerimanya. Dia menyukai anak-anak, dan dia ingin memiliki banyak anak.
***

                Evelyn memandangi beberapa butir tablet di telapak tangannya dengan ragu-ragu. Pil penggugur kandungan. Ia masih ragu dengan keputusan yang akan diambil ini. Dia tahu, Peter sangat menginginkan calon bayi yang diperutnya ini, tapi hatinya terus mengatakan kalau dia tidak siap untuk menerimanya. Dia ingin menggugurkannya. Kandungannya sudah berusia empat bulan, dan mungkin sudah terlambat untuk melakukannya. Bayi di dalam perutnya sudah mulai ada kehidupan, itu yang membuatnya ragu. Ia akan sangat berdosa bila melakukannya.
Dengan berlinang air mata, Evelyn terus memandang butiran itu dengan meraba perutnya,
    “Maafkan mama, sayang.” Secepat kilat Evelyn menelan butiran yang ada di tangannya.
Begitu pil-pil itu sampai di perutnya, Evelyn tidak kuasa untuk menahan tangisnya. Dia sudah sangat berdosa, sangat berdosa terhadap anaknya sendiri.


Peter melihat Evelyn yang terlihat sangat pucat dan tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak ia pulang dari bengkelnya.
    “Kamu nggak apa-apa, sayang?”
Evelyn menggeleng lemah, “Aku nggak apa-apa.”
Peter tidak percaya. Ia menyentuh kening istrinya, memang sedikit hangat. Kemudian tangannya turun ke perut istrinya.
    “Jangan sentuh perutku!” tepis Evelyn cepat.
Peter jelas kaget dengan sikap Evelyn.
    “Maaf,” ucap Evelyn gugup dan tatapan ketakutan.
Peter langsung mengerti, Evelyn masih belum merelakan untuk meneruskan kandungannya ini.
    “Lebih baik kamu istirahat saja, biar aku yang menidurkan Keith,” ucap Peter selembut mungkin.
Evelyn tidak menyahut, dia hanya menuruti saat Peter membimbingnya ke tempat tidur.

    “Istirahatlah,” Peter menyelimuti Evelyn kemudian mengecupnya dengan penuh kasih sayang. Setelah itu Peter keluar kamar. Begitu Peter keluar, Evelyn sekali lagi menangis.
    “Maafkan aku, maafkan aku,” isaknya perih. Ia tidak akan pernah berani untuk mengatakan apa yang sudah diperbuatnya, pada Peter, atau Peter akan membencinya.
***
    “Dia benar-benar tidak menginginkannya kali ini, Nan,” desah Peter.
Nanny hanya tersenyum.
    “Tapi, tidak berhasil, kan?
Peter mengangguk, “Aku jadi merasa bersalah sama Evelyn. Aku terlalu egois.”
    Tidak, kau tidak salah apa-apa. Memang sudah seharusnya kalian tidak menolak. Kalian diberi kepercayaan buat punya anak banyak..”
    “Aku tahu. Karena itu aku tidak pernah nolak kehadiran mereka. Bantu aku, Nan, bantu Evelyn untuk mengasuh mereka.”
    Tidak diminta pun, saya pasti akan mengasuh anak-anakmu, seperti saya  mengasuhmu dulu,” sahut Nanny lembut.
Peter tersenyum lega dengan ucapan pengasuhnya, kemudian memeluknya dengan erat.
***

                Evelyn muntah-muntah lagi disertai rintihan sakit pada perutnya. Sudah beberapa hari ini Evelyn seperti ini. Peter tahu Evelyn sedang hamil, tapi Evelyn tidak pernah seperti ini pada tiga kehamilan sebelumnya. Ini yang membuatnya heran dan khawatir. Hingga akhirnya, Evelyn langsung tak sadarkan diri dengan wajah yang sudah sangat pucat pasi, tangannya sudah dingin semua. Tidak hanya itu, darah tiba-tiba mengalir di kaki Evelyn.
    “Ya Tuhan!”
Tanpa banyak pikir panjang, Peter langsung membawa Evelyn ke rumah sakit.

Perasaan bersalah terus menyelimuti Peter saat menunggu dokter menangani Evelyn. Ia tahu ada yang tidak beres dengan kehamilan Evelyn kali ini. Dan kalau terjadi apa-apa terhadap Evelyn, dialah yang patut disalahkan. Dia terus berdoa, agar tidak terjadi sesuatu yang berbahaya pada istrinya hingga mengancam jiwanya. Dia belum siap untuk kehilangan Evelyn dan dia tidak akan bisa mengasuh ketiga putranya tanpa Evelyn.

    “Bagaimana dia, dok?” tanya Peter langsung, saat melihat Dr. Cowell keluar dari ruangan Evelyn.
Dr. Cowell menangani semua kelahiran putranya; Mikey, Keith dan Shane.
    “Syukurlah, dia tidak apa-apa. Itu efek dari obat yang dia minum. Dosisnya lumayan tinggi.”
Peter tidak mengerti dengan ucapan Dr. Cowell.
    “Obat apa ya, dok?”
    “Obat penggugur kandungan.”
Peter tersentak, “Obat penggugur kandungan?” tak percaya.
    “Ya. Dia mencoba untuk menggugurkan kandungannya.”
    “Ya Tuhan, Evelyn,” nafas Peter tertahan.
    “Kau tidak mengetahuinya?”
Peter menggeleng, “Evelyn memang tidak menginginkan kehamilannya ini, saya yang mengingankannya, tapi saya tidak pernah menyangka Evelyn akan berbuat nekat seperti ini.
    “Bagaimana dengan kandungannya?”
    “Kita hampir kehilangannya. Dosis yang ia minum cukup membahayakan mereka, tapi untunglah mereka masih bisa diselamatkan.”
Peter dapat bernafas lega.
    “Kau mau mempertahankan bayimu?”
    “Jangan tanya saya, dok, sekarang saya nggak berani memutuskannya,” jawab Peter lirih.
Dr. Cowell mengangguk mengerti, “Temui Evelyn. Tapi jaga sikapmu, dia masih sangat labil.”
Peter mengangguk, kemudian masuk ke kamar Evelyn.

                Peter melihat Evelyn masih tertidur. Masih dengan perasaan perih ia memandang istrinya. Dia tidak membencinya, hanya tidak pernah membayangkan kalau Evelyn akan melakukannya. Ia semakin merasa bersalah.
    “Maafkan aku, Evelyn,” Peter mengecup tangan istrinya.   
Evelyn terbangun dengan kecupan Peter, dan langsung menampakkan wajah yang ketakutan. Dipalingkan wajahnya agar, tidak mendapatkan tatapan marah Peter. Dia tahu Peter pasti sangat marah mengetahui dirinya mencoba menggugurkan kandungannya.
Tapi Peter menarik wajah Evelyn dengan lembut, “Lihat sini, jangan takut. Aku nggak akan marah.”
Suara lembut Peter membuat hati Evelyn sedikit lega.
    “Kamu nggak marah?” Evelyn meragukan tak percaya.
Peter menggeleng.
Evelyn langsung menghambur ke pelukan Peter.
    “Maafin aku, maafin aku,” isaknya di pelukan Peter.
Peter memeluk erat istrinya.
    “Kamu gegabah, ceroboh. Membahayakan dirimu sendiri.”
Evelyn semakin menangis dan Peter semakin memeluknya erat.
    “Kamu harusnya bicarakan dulu, jangan gegabah begini. Kalau kamu masih bersikeras menggugurkannya, kita gugurkan.”
    “Nggak!” tolak Evelyn langsung. “Aku sangat menyesal sudah melakukannya. Aku nggak tahu, apa yang merasuki diriku, tapi aku nggak akan pernah melakukannya lagi. Akan kupertahankan bayi ini.”
    “Tapi Evelyn…?”
    “Setelah aku menelan butiran pil itu, aku nggak pernah berhenti menyalahkan diriku, tapi aku juga nggak berani untuk mengatakannya padamu. Aku sudah pasrah kalau aku kehilangan bayi ini, walau hati kecilku tidak mengharapkannya. Tapi ternyata Tuhan masih sayang padanya, bayi kita masih bisa diselamatkan. Aku ingin mempertahankannya, Peter, aku tidak ingin kehilangannya. Kamu benar, ini anak kita, buah cinta kita, dan kita harus menerimanya.”
Peter terheran, hampir tidak percaya. Setelah Evelyn berusaha menggugurkannya, justru sekarang Evelyn yang ingin mempertahankannya?
    “Kamu tetap menginginkannya?”
Evelyn mengangguk pasti, “Itu juga kalau kamu masih ingin memiliki anak banyak, mas.”
Peter tersenyum geli, “Kamu nggak perlu bertanya lagi, Aku memang sangat mengharapkan anak banyak. Banyak anak, banyak rejeki, kan?”
Evelyn tersenyum.
    “Kamu benar-benar menginginkannya?” Peter masih meragukan.
Sebuah kecupan manis di bibir Peter sebagai jawaban.
Peter langsung memeluk erat Evelyn. “Terima kasih, Evelyn.”
    “Maafkan aku, kalau aku hampir mengecewakanmu,” sahut Evelyn.
Peter mengecup pipi istrinya.
    “Aku sayang kamu, Evelyn.”
    “Aku juga.”

                Sejak kejadian itu, Evelyn sangat memperhatikan kandungannya. ia tahu, perbuatannya dapat memberi efek buruk pada janin yang dikandungnya ini, karena itu ia harus menjaganya baik-baik. Ia tidak ingin kehilangan bayinya.
***

10 Maret 1977

    “Peter!!!” pekik Evelyn mengagetkan Peter yang sedang berada di garasinya bersama Mikey.
Secepat kilat, Peter segara masuk ke dalam rumah dan mendapatkan Evelyn di kamar mandi dengan bersimbah darah.
    “Ya Tuhan, Evelyn!? Sekarang kenapa lagi?”
    “Aku nggak tahu, mas!” sahut Evelyn panik.
Peter langsung membawa Evelyn ke rumah sakit.

    “Kita harus segera mengeluarkan bayinya, kalau kita tidak ingin kehilangan mereka berdua. Obat itu memberi efek konstraksi awal, sementara air ketubannya sudah hampir habis.”
    “Tapi bukannya, masih terlalu awal? Umurnya masih enam bulan.”
    “Tapi kalau tidak segera dikeluarkan, dia akan mati di dalam sana, dan itu lebih berbahaya untuk Evelyn. Kamu tidak ingin kehilangan dia khan?”
    “Tentu saja tidak!” sahut Peter cepat. “Keluarkan sekarang, dok,” pintanya dengan sangat.
Dr. Cowell mengangguk.
                Tidak seperti tiga persalinan sebelumnya yang berjalan secara normal, untuk kali ini, dengan terpaksa harus melalu jalan operasi. Evelyn sudah terlalu lemah, yang mungkin membahayakan keduanya.  
Peter menunggu dengan tidak sabar dan tegang. Dia tidak mau kehilangan Evelyn juga bayinya. Dia memohon agar keduanya dapat diselamatkan.

                Tiba-tiba pintu kamar bedah terbuka dan dua orang suster mendorong masing-masing kotak inkubator. Peter hanya terpaku melihatnya. ‘Dua kotak inkubator, berarti bayinya… kembar?’
Tak lama kemudian, Dr. Cowell, keluar.
    “Bagaimana, Evelyn, dok?”
    “Dia terselamatkan, sekarang dia sedang bersiap dipindahkan ke kamar biasa.”
    “Bayinya?”
    "Kembar, dan dua-duanya laki-laki.”
Nafas Peter tertahan, ‘kembar?’
    “Keadaan mereka?”
    “Kami sedang berusaha menyelamatkannya. Tapi kecil kemungkinan untuk hidup. Mereka sangat kecil. Yang pertama lahir berat badannya hanya 1, 27 kg., sementara adiknya 1, 34 kg., dan diperkirakan, ada organ yang belum sempurna, mengingat mereka lahir belum cukup umur.”
    “Ya Tuhan.”
    “Tapi kami berusaha menyelamatkan mereka.”
Peter terkatup.
    “Bisa saya melihat mereka?”
    “Tentu. Mereka ada di ruang intensive.”
Peter langsung menuju ruang intensive. Dari balik kaca, Peter dapat melihat para suster dan dokter sedang berusaha menyelamatkanya mereka. Mereka tidak lahir dengan normal. Lahir tidak sampai 1, 5 kg., jauh dari berat badan bayi  normal lahir. Saking kecilnya, dia hampir tidak dapat melihat wujud mereka. Sangat perih melihatnya.
Tak lama kemudian seorang dokter mendatanginya.  
    “Bagaimana mereka, dok?”
    “Untuk sementara ini, kami bisa mempertahankannya, terutama yang pertama lahir. Kami berusaha semampu kami membuat mereka agar tetap hidup, tapi mengingat keadaan mereka, kami tidak bisa berharap lebih. Kami harap Anda siap bila harus kehilangan mereka.”
Lutut Peter terasa lemas semua. Ingin rasanya ia terus berada di tempat itu melihat bayi-bayinya, tapi ia harus menemani Evelyn. Ia tidak mau Evelyn sadarkan diri tanpa ada dirinya di sisinya.

Peter kembali ke kamar Evelyn, dan Evelyn memang belum sadarkan diri. Ia duduk di samping tempat tidur Evelyn.

    “Peter…,”
Peter terbangun dengan suara lirih memanggilnya. Evelyn menyambutnya dengan tersenyum lemah.
    “Kau sudah bangun, Evelyn?”
    “Anak kita, Pet?” tanya Evelyn langsung.
Peter terdiam.
Evelyn menangkap kediaman Peter. Dia langsung curiga dan was-was.
    “Bayi kita, Pete?”
    “Mereka… Evelyn. Laki-laki, kembar.”
    “Kembar?” Evelyn sempat terkatup. “Lalu? Mereka selamat, khan? Mereka masih hidup, kan, mas?”
Peter mengangguk, “Saat ini dokter sedang memperjuangkan hidup mereka. Mereka sangat kecil, Evelyn, dan sangat lemah. Kecil kemungkinan untuk hidup.”
    “Ya, Tuhan,” desis Evelyn, air matanya mulai mengalir. “Aku mau melihat mereka, mas, aku mau melihatnya,” beranjak bangun dari tempat tidurnya.
    “Jangan Evelyn, kamu belum boleh ke mana-mana, kamu masih lemah.”
    “Aww…,” rintih Evelyn menahan sakit dari bekas operasinya yang masih baru. Evelyn langsung tak berdaya dan kembali terbaring lemah.
    “Aku pengen melihat mereka, Pete,” isaknya.
    “Iya, nanti. Tunggu sampai lukamu sembuh dulu.”
Evelyn menggeleng lemah, “Itu sudah terlambat, mungkin saat itu mereka sudah pergi.”
    “Jangan bicara begitu, Evelyn, mereka pasti bisa bertahan dan bertemu dengan ibu mereka.”
Evelyn kembali terisak, “Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak meminum obat itu, semua ini tidak akan terjadi dan mereka pasti akan lahir normal.”
    “Stss…, jangan salahkan dirimu. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Sekarang mereka sudah lahir, dan berharap agar bisa bertahan hidup. Itu yang kita harapkan sekarang.”
    “Aku nggak mau kehilangan mereka, Peter, aku nggak mau kehilangan bayi-bayiku.”
    “Aku juga nggak mau kehilangan mereka. Kita nggak akan kehilangan mereka,” Peter memberi harapan disertai kecupan di kening Evelyn.
    “Kamu ingin ketemu dengan Mikey, Shane dan Keith?”
Evelyn langsung tersenyum lebar dan mengangguk.
Peter tersenyum, “Sebentar, ya, aku panggil, mereka ada di luar.”
Tak lama kemudian, Peter masuk dengan membawa Keith, Shane dan Keith. Kesedihan Evelyn sedikit terobati dengan kehadiran tiga buah hatinya yang sangat ia sayangi, terutama Shane yang masih butuh perhatiannya, karena usianya baru 8 bulan. Ia tahu, dia masih memiliki Mikey, Keith dan Shane, tapi ia tetap tidak ingin kehilangan dua anggota baru ini. Dia ingin anak-anak yang ia lahirkan dapat berkumpul bersama.

                Keesokan harinya, Evelyn baru diperbolehkan untuk turun tempat tidur dapat melihat kedua bayinya, walau hanya melalui pembatas kaca. Evelyn hampir tak dapat bernafas saat pertama kali melihat kedua bayinya yang sangat kecil dengan selang-selang mungil masuk di tubuhnya. Mereka sedang diujung maut. Bertahan atau meninggal, dan Evelyn tidak ingin yang kedua. Dia ingin mereka selamat. Dia bahkan belum menyentuhnya sama sekali. Ingin rasanya Evelyn memegang mereka dan memeluknya, tapi tidak mungkin.
    “Evelyn…”
Evelynlyin terkaget dengan seseorang mendekapnya hangat.
    “Pete…” Evelyn mengatur nafas leganya.
Peter mengecup kening Evelyn.
    “Anak kita, Pete,” mata Evelyn kembali kepada kedua bayinya.
Peter hanya menguatkan dekapannya.
Dokter Cowellmenghampiri mereka.
    “Bagaimana, dok?”
    “Untuk sementara ini, mereka masih stabil. Tapi memang ada organ yang belum sempurna bagi keduanya. Terutama yang pertama lahir, paru-parunya belum stabil, sementara yang kedua, pembentukan jaringan otaknya belum sempurna.”
Evelyn tercekat, “Maksud dokter, kalau yang kedua dapat diselamatkan, dia akan terbelakang nantinya?”
    “Kami tidak mengatakan itu. Pembentukan otak bayi yang kedua tidak menunjukkan kerusakan apa pun, tidak ada indikasi cacat bawaan pada otaknya, hanya masa pembentukannya belum mencukupi. Kami akan berusaha menyempurnakannya semaksimal yang kami mampu.”
Evelyn langsung dapat bernafas lega, begitu juga Peter.
    “Jangan kuatir, kami akan lakukan yang terbaik untuk mereka.”
Peter mengangguk berterima kasih.
    “Ng… kalian sudah punya nama untuk si kembar ini? Karena sampai sekarang, namanya masih ‘Breen 1’ dan ‘Breen 2’…”
    “Oh, maaf,” Peter segera tersadar. “Tentu kami sudah mempersiapkan nama untuk mereka,” jawabnya pasti.
Evelyn melirik Peter dengan terheran. Sudahkah? Mereka bahkan belum membicarakannya.
    “Nama yang pertama lahir adalah Stephen Patrick David Breen dan yang kedua Ronan Patrick John Breen,” Peter menyebutkan nama mereka dengan pasti, kemudian menoleh ke arah Evelyn.
Evelyn hanya bisa tersenyum. Seperti biasa, Peter tidak pernah mendiskusikan bersama nama anak mereka, tapi tetap Evelyn menyukainya.
    “Baiklah, kami akan segera menuliskannya pada data mereka.” Kemudian Dr. Keane meninggalkan mereka.
    “Stephen dan Ronan?” Evelyn memastikan nama mereka, sepeninggal Dr. Cowell.
Peter mengangguk, “Kau suka?”
    “Ya, aku suka nama itu. Terima kasih, Peter.”
Peter mencium Evelyn sebagai sahutannya.

                Mempertahankan bayi yang hanya berusia enam bulan di dalam kandungan, tidaklah semudah yang dibayangkan. Stephen adalah yang paling diusahakan untuk bertahan daripada Ronan. Lahir terlebih dahulu, membuat organ dalamnya lebih belum sempurna dibandingkan saudaranya yang lahir 10 menit kemudian. Setelah sempat dua kali hampir kehilangannya, karena paru-parunya yang sangat lemah, akhirnya para dokter dapat membuatnya bertahan. Begitu juga dengan Ronan, pembentukan jaringan otaknya berjalan sangat lambat namun tidak menunjukan indikasi cacat mental. 7 bulan lamanya kedua bayi itu menginap di rumah sakit, pulang 4 bulan waktu yang mereka perlukan untuk berada di dalam inkubator dan 3 bulan waktu untuk pemantauan dan pemulihan, sebelum akhirnya dapat diizinkan untuk pulang. Itulah sebabnya, mengapa Evelyn dan Peter memberi perhatian penuh pada kembar bungsu mereka ini. Setelah sempat tidak diharapkan kehadirannya, mereka pun hampir kehilangan mereka, dan mereka tidak ingin kehilangan mereka lagi
Stephen-Ronan, selamat datang di keluarga Breens.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar