The Breens Brother

The Breens Brother
Breens Brother

Jumat, 03 Februari 2012

Hidup Berlima


Maaf, kalau agak cupu model n bahasanya, karena ini episode yang paling pertama dibuat, sekitar tahun 2001-an awal heheheehehe - but hopefully you still can enjoy it ...


Hidup Berlima



Tahun 1994
Mikey, 22 tahun; Keith, 20 tahun, Shane 18 tahun; Stephen dan Ronan 17 tahun.


            Louis menyewakan satu rumah untuk mereka di daerah Victoria Station, dekat London. Apartemen yang tidak terlalu besar dan hanya tersedia tiga kamar. Dengan itu mereka harus saling berbagi kamar. Tanpa perlu berunding, mereka sudah langsung menentukan dengan siapa mereka berbagi kamar. Keith yang selalu satu kamar dengan Mikey tidak dapat diganggu gugat. Shane yang biasa sendiri, kini berbagi kamar dengan Ronan, karena Stephen menginginkan untuk memiliki kamar sendiri. Dan karena Stephen yang memintanya, Shane dan Ronan pasti mengabulkannya. Meski begitu, tetap saja bila Stephen minta ditemani, salah satu dari mereka berempat pasti akan menemaninya.

            Tinggal hanya berlima tanpa ada Nany, Ayah dan Ibu mereka, tentu saja sempat membuat mereka kaget. Mereka harus melakukan semuanya sendiri, dan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Di bulan pertama mereka hidup sendiri berlima, suasana apartemen kacau balau dengan sifat mereka yang berbeda-beda dan harus saling pengertian.

Ronan dengan banyak sekali permintaan dan harus dikabulkan, sangat berlainan dengan Shane yang tidak macam-macam dan apa saja tidak akan dipermasalahkan olehnya. Tapi tetap sering membuatnya kesal dengan sifat Ronan. Mereka berdua sering berantem hanya untuk masalah yang sepele. Sementara Stephen sering membingungkan saudara-saudaranya dengan sifat moodynya, dan biasanya hanya ibu mereka yang bisa mengerti. Kemudian Keith yang gampang naik darah bila sesuatu tidak sesuai dengan keinginanya, tapi juga gampang sekali tertawa terbahak-bahak bila ada yang menurutnya lucu. Apa pun bisa jadi gurauan dan lelucon olehnya yang membuat orang lain ikut terbahak-bahak, terutama Ronan. Mereka berdua sering gila bareng. Dan terakhir si sulung Mikey, sebagai yang tertua dipastikan akan selalu menjadi wasit bagi keempat adiknya yang sifat mereka yang aneh-aneh. Dia sering menjadi tumpuan untuk memutuskan sesuatu bagi mereka semua. Dia tahu apa yang terbaik untuk mereka semua. Tapi tetap saja dia akan marah besar kalau sudah saking kesalnya menghadapi keempatnya.

Rumah kos hampir setiap hari dalam keadaan berantakan, bagaikan kapal pecah, dengan suasana yang kacau balau. Dan biasanya karena Ronan dan Shane yang tidak pernah bisa bersih dan rapi. Kamar mereka berdua adalah kamar yang paling berantakan. Mikey yang sangat perfeksionis sering dibuatnya kesal. Juga tagihan telepon yang mencapai jumlah menakjubkan, karena mereka berlima selalu menelepon rumah. Mereka harus mengobrol dengan Ibu mereka. Setiap harinya, ada saja yang mereka bicarakan dengan sang ibu. Mikey, Keith, Shane, terlebih Stephen dan Ronan yang tidak pernah bisa jauh dari ibu. Sepertinya, mereka tidak bisa hidup tanpa sehari tidak berbicara dengan ibu mereka.
Untuk makan, terkadang mereka beli jadi, dan terkadang pula harus memasak sendiri bila tidak ada dana untuk membeli makanan (mereka harus bisa berhemat). Mereka melakukannya bergiliran. Siapa yang tidak mau mau memasak, tidak akan ada jatah untuknya. Semuanya harus mereka lakukan sendiri. Akhirnya mereka bisa terbiasa, karena mereka tahu, tidak ada nannydan ibu meraka yang akan membantu mereka. Mereka sudah memutuskan untuk hidup mandiri, dan mereka harus bisa. 

****


Ronan membuka mata dengan malas. Matahari pagi menyilaukan mata, masuk melalui jendela. Matanya melirik tempat tidur Shane di sampingnya, tapi tak dilihatnya Shane. Mungkin dia sudah bangun.
Sret.
Telinganya langsung waspada dengan suara yang baru saja dia dengar. Ia segera mencari sumber suara.
Sss… sekarang suara itu bertambah dengan suara mendesis.
Perasaan Ronan langsung tidak enak.
Benar saja apa yang ia lihat. Jantungnya terasa berhenti mendadak. Tangannya dingin dan bergemetar.
Seekor ular sedang merayap di karpet kamar.
    “Aaaaarggghhh!!!!” Shaaannoooooo!!!” Ronan memekik sekeras-kerasnya.
    “Apaan, sih!!” Shane segera masuk ke kamar begitu mendengar Ronan yang mengagetkan. Dia tidak sendiri. Keith, Mikey dan Stephen juga ikut masuk dengan tergopoh-gopoh.
Mereka mendapatkan Ronan sudah meratap ke tembok di atas tempat tidur dengan sangat ketakutan.
    “Apaan?”
    “Ii..t..tu..!!” Ronan dengan gemetar menujuk ke arah lantai.
Semua menahan nafas begitu melihat apa yang ditunjukkan Ronan.
    “Ular?” Keith terheran.
    “Aa!” Stephen memekik tertahan.
    “Eloe jangan ke sini, deh,” Mikey langsung menyuruh Stephen keluar dari kamar.
    “Piaraan, loe tuh! Tega ya, loe!!” seru Ronan marah di tengah ketakutannya. Air matanya sudah menetes.
    “Ssts…diem!” Shane menenangkan Ronan dengan terus memperhatikan ular tersebut.
Ronan hanya bisa cemberut kesal.
    “Keet, cepet ambil penjepit arang di perapian,” perintah Shane dengan mata tak lepas dari ular itu.

    “Nih,” Keith kembali dengan membawa penjepit itu dan diterima langsung oleh Shane.
Shane bersiaga untuk mencoba menangkap ular itu.
    “Cepet ambil!” pekik Ronan panik.
    “Bisa diem nggak, sih!” dengus Shane kesal. ‘Cepet, cepet, emang gampang ngambil ular’
Ronan langsung tutup mulut, dibentak begitu.
Tep.
    “Kena,” ucap Shane lega, begitu menjepit kepala ular itu.
Shane mengangkatnya dan mengamati ular itu lebih jelas. Ular itu coklat.
    “Loe bilang, elo nggak bawa Caesar,” Keith terheran pada Shane.
    “Emang nggak gua bawa.”
    “Loe kebangetan deh, Shane!” Ronan masih mencak-mencak marah, sementara Mikey sudah di sampingnya berusaha untuk menenangkannya.
    “Ini bukan punya gua, lagi. Ini bukan Caesar. Dia lebih cantik dari ini,” sahut Shane tenang. Gua mana bisa bawa Caesar, orang elo takut banget sama dia.”
Ronan masih misuh-misuh.
    “Lha trus, tu ular punya siapa?” Mikey penasaran.
    “Permisi, pagi.”
Kedelapan mata langsung ke sumber suara.
Seseorang tak dikenal muncul dari balkon luar. Pintu balkon memang terbuka lebar.
Mereka berempat tercenung, ‘bagaimana dia bisa masuk ke sini?’
    “Pagi semua,” sapa orang itu dengan tersenyum ramah. ”Saya tetangga kalian. Ng… saya kehilangan si Manis. Saya mendengar ada pekikan dari sini, mungkin kalian melihatnya?”
    “Si Manis?” Keith tidak mengerti.
    “Ah, itu si Manis!” seru orang itu kegirangan dengan menunjuk sesuatu yang sedang dijepit Shane.
Mereka berempat ternganga. Si Manis? Ular begini diberi nama Manis?
    “Boleh?” seraya meminta sesuatu yang dipegang Shane.
Shane segera menyerahkannya pada orang itu.
    “Ternyata kamu main ke sini, ya? Nakal,” ucapnya pura pura memarahi ular yang sudah dipegangnya.
    “Terima kasih banyak. Maafkan saya. Dia memang suka nakal, keluar kandang nggak bilang-bilang. Untung yang keluar, yang tidak berbisa.”
Shane dan Keith saling berpandangan.
    “Anda punya berapa ular?” Shane penasaran.
    “Mungkin ada lima ekor,” jawabnya dengan bangga.
Bleg! Ronan langsung tak sadarkan diri di atas tempat tidur.
    “Ro…,” Mikey kembali menghampiri Ronan yang pingsan.
    “Ngomong-ngomong, kenalkan, nama saya Tom, tetangga kalian. Saya dengar kalian penyanyi, ya? Kalau nggak salah The Breens, kan? Senang bisa bertemu kalian,” ucapnya bangga tanpa merasa sudah membuat Ronan mati ketakutan.
    “Ya…ya…ya…yuk, kita keluar dari sini,” sahut Keith seraya menggiring paksa orang itu keluar dari kamar.
    “Ro… Roro…,” Mikey menepuk-nepuk pipi Ronan berusaha menyadarkan. “Buddy…”
    “Huh…,” Ronan menyahut lirih dengan mata perlahan-lahan terbuka. “Ulaaar!!” pekiknya langsung.
    “Stss…, tenang Ro, ularnya udah nggak ada,” Mikey menenangkan Ronan yang kembali panik
    “Bener?”
    “Iya, ularnya udah pergi, sama orangnya.”
Ronan agak tenang mendengarnya.
Shane kembali ke kamar diikuti Stephen dan Keith. Stephen membawakan secangkir kopi dan memberikannya.
    “Udah, nggak pa-pa. Dia udah pergi, kok.” Shane ikut menenangkan adiknya yang phobia ular
    “Gua pengen pindah dari sini. Gua nggak mau tetanggaan sama orang yang miara banyak ular,”  Ronan masih pucat.
    “Jangan takut, dia yang akan pindah, bukan kita,” sahut Keith.
    “Yang bener?”
    “Iya, dia emang lagi siap-siap mo pindah, makanya ul…peliharaannya lepas,” Keith segera mengganti kata ‘ular’ dengan ‘peliharaan’ agar tidak membuat Ronan takut lagi.
    “Syukur, deh.”
    “Sialan tu orang, nggak sadar apa, punya piaraan yang nakutin orang,” rutuk Shane kesal.
    “Kamu sendiri miara ular,” sahut Stephen.
    “Tapi kan, nggak sampai nakutin orang. Pernah nggak, ular gua nakutin elu semua? Nggak kan!” Shane membela diri.
    “Elu aja yang nggak tahu. Tiap malam gua ketakutan, tau’! Takut, kalau tau-tau, ular loe udah masuk ke selimut gua,” sungut Ronan.
    “Tapi pernah nggak, dia masuk ke selimut loe? nggak kan?” Shane tertawa geli.
    “Jangan sampe, deh,” Ronan masih merutuk.
    “Nggak lah. Gua udah ngasih peringatan sama Caesar, jangan pernah berani nginjak kamar loe, dan nampakin wajahnya di depan loe. Gua nggak mau denger jeritan loe kayak tadi. Loe nggak ngejerit aja udah keras banget suara loe, apalagi kalo ngejerit. Kaya’ tadi kan, pagi-pagi bikin geger dunia,” Shane masih tidak dapat menyembunyikan senyum gelinya melihat Ronan seperti ini. Pucat pasi. 
Ronan semakin cemberut jadinya. Sementara yang lainnya tersenyum geleng-geleng kepala.
    “Ya udah, ingat jam berapa nih, kita ada latihan di studio jam 11,” Mikey mengingatkan.
    “Yoi,” mereka semua langsung teringat dan segera beranjak dari tempat tidur Ronan lalu keluar kecuali Shane.
    “Ada bagusnya juga, lho, tu ular bangunin loe. Kalo nggak ada tu ular, belum tentu elu mau bangun, ya khan?” ucapnya dengan menahan tawa.
    “Sialan loe! Keluar sana!!” pekik Ronan kesal, seraya melempar bantal mengusir Shane.
Terbirit-birit, Shane keluar kamar tanpa dapat menahan tawanya.
Dengan malas Ronan bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.

Saat di meja makan,

    “Pagi, semua,” sapa Ronan dengan semangat dengan menarik kursinya. Semuanya sudah siap di meja makan.
    “Pagi,” sahut Mikey basa-basi. (Pagi gimana? orang udah jam 10:30)
    “Eh, bener, tu orang mo pindah?” Ronan masih belum percaya.
    “Bener. Elo ngga usah takut, deh,” Keith dengan yakin. “Kalopun dia nggak pindah, kita yang cepet-cepet pindah dari sini. Gua juga nggak mau sebelahan sama orang yang miara lima ekor ul…,” Keith langsung berhenti begitu melihat wajah Ronan mulai pucat mendengar binatang yang paling dia benci. “Tenang, Wa, nggak akan gua sebut, kok.”
Ronan tersenyum pahit.
Shane masih tertawa geli melihatnya, kemudian dia melirik Stephen yang duduk di sebelahnya.
    “Kenapa, loe Stee? Tumben pagi ini loe diem banget, lagi nggak mood ya?” menyenggol tangan Stephen.
    “Loe masih takut sama kejadian tadi?” tebaknya.
Stephen tidak menyahut.
Mikey memperhatikan wajah Stephen yang tidak seperti biasanya. Terlihat sedikit pucat.
    “Loe nggak pa-pa, kan?” Mikey memastikan.
Ronan dan Keith langsung ikut perhatian.
    “Gua nggak pa-pa,” elak Stephen.
    “Tapi muka loe, kok pucet gitu?” Ronan tidak percaya.
Mikey menyentuh tangan Stephen lebih seksama, lalu ke leher. “Loe agak panas. Loe sakit, ya?”
    “Nggak, gua nggak pa-pa. Gua cuma kecapeaan.”
    “Ya udah, kalo elo sakit, mending hari ini loe nggak usah latihan dulu, deh,” Shane penuh perhatian.
    “Hey, gua nggak pa-pa, gua sehat, kok. Gua bisa latihan,” Stephen bersikeras.
    “Bener nih?” Ronan memastikan.
    “Iya.”
Keith memperhatikan adiknya dgn seksama, tapi melihat kesikukuhan Stephen, ia pun menerimanya dengan mengangguk,
    “Ya, udah. Bisa kita berangkat sekarang?” Keith melirih jamnya.
Keempatnya mengangguk dan segera beranjak dari tempat duduknya, kemudian bersama-sama keluar dari apartemen. Mikey masih tetap memperhatikan Stephen dari belakang, memastikan Stephen tidak apa-apa.

           
            Sesampainya di studio, mereka langsung latihan. Latihan seperti biasa, menyanyi dan menari menari untuk singgel ‘So Good’ mereka. Mereka latihan intensive hingga sore hari, Mikey masih tetap memperhatikan Stephen. Tapi hingga latihan usai, Stephen terlihat tidak apa-apa, baik-baik saja, sama seperti yang lainnya, capek berat dengan latihan seharian. Mikey tenang melihatnya.

            Pukul 8 malam, mereka baru sampai di apartemen dengan badan letih. Tapi mereka menikmatinya dan mereka memang harus melakukannya.

    “Gila, gua nggak bisa nari! Susah banget sih, tu gerakan,” rutuk Keith kesal. “Kalian lihat sendiri, kan, gimana gerakan gua yang jelek banget.”
    “Elo gimana sih, kaya’ gitu aja dibikin pusing,” sahut Shane tenang. “Jangan dipikirin. Kalo mau bisa, ya… latihan terus. Salah sendiri, dulu loe sering bolos di kelas tari.”
    “Woy , ada yang lihat macaroi gua, nggak!!?” teriak Ronan tiba-tiba dari arah dapur.
Shane melirik Ronan yang sedang membongkar lemari es.
    “Gua mending pegang stik drum daripada disuruh nari,” Keith masih merutuk.
    “Woy, macaroni gua, nih, kok nggak ada? Siapa yang makan!? Jujur aja!” Ronan masih dengan suara yang keras dari dapur tetap mencari-cari.
    “Lihat aja di microwave, siapa tau ada yang masukin ke situ!” sahut Keith sama kerasnya.

Ronan langsung membuka microwave, dan memang macaroninya ada di dalam sana dan sudah lembek, dari pagi dihangatkan terus. Ronan mengambilnya dengan wajah masam.
    “Siapa sih, yang masukin ke sini!?” Ronan semakin kesal.
Tak ada yang menjawabnya, tapi dicoleknya juga macaroni itu, ‘Mhmm, masih enak, kok.” Ronan langsung mengambil sendok dan mulai memakannya, seraya keluar dari dapur. Lumayan buat ganjal perut.

    “Steo mana?” Mikey yang baru keluar dari kamar mandi, langsung menanyakannya karena belum melihat Stephen sejak mereka pulang tadi.
    “Di kamar. Kayaknya, dia emang lagi nggak enak badan, deh,” sahut Keith.
Mikey segera ke kamar Stephen memeriksanya.
Mikey memang mendapati Stephen tertidur pulas. Didekatinya Stephen perlahan-lahan lalu duduk di tepi tempat tidur. Mikey menyentuh kening Stephen, masih terasa hangat. Kemudian ia menarik selimut untuk menyelimuti Stephen.
Entah mengapa, ia merasa enggan untuk meninggalkan Stephen. Dia ingin menemaninya. Iapun duduk di kursi yang ada di kamar itu seraya terus memandangi adiknya.
*

            Shane menggosok-gosok stik biliarnya, dengan matanya tetap memperhatikan bola-bola bernomer yang berserakan di atas meja biliar. Sementara itu, Keith dan Ronan menunggu aksi Shane selanjutnya. Memang setelah Keith dan Ronan kesal sendiri dengan masalah mereka masing-masing (Keith yang merasa tidak bisa menari dan Ronan dengan macaWaninya yang lembek), Shane mengajak mereka bermain biliar untuk menurunkan temperamen mereka. Tentu saja mereka berdua menyambutnya dengan senang hati.

Shane mulai beraksi. Ia menyodok bola berwarna yang kemudian sukses memasukkan dua bola sekaligus ke dalam lubang. Dia mulai beraksi lagi.
    “Woy…, Stee, nih”  tiba-tiba Mikey mengejutkan mereka dengan wajah khawatir.
Ronan, Keith dan Shane langsung menghentikan permainan mereka dan segera menyusul Mikey ke kamar Stephen.
Mereka melihat Stephen sudah berkeringat. Mikey sudah berada di atas tempat tidur di samping Stephen. Shane ikut naik ke tempat tidur.
    “Kenapa dia?” Keith panik.
    “Gila, dia panas banget!” seru Shane setelah menyentuh tubuh Stephen.
    “Kita mesti ngapain, nih? Telepon mama?” Ronan ikut panik.
    “Jangan. Jangan dulu,” sergah Mikey. “Ro, cepet ambil es atau apa kek, buat nurunin panasnya.”
Ronan segera keluar mengambil apa yang diperintahkan Mikey. Keith juga sudah di atas tempat tidur. Mereka bertiga mengelilingi Stephen.

Tak lama kemudian, Ronan kembali dengan se-baskom es ditambah dengan lap untuk mengompres.
Mikey langsung mengompres kening Stephen.
Terdengar suara Stephen antara sadar dan tidak sadar, ia merintih kedinginan.
    “Angetin dia,” perintah Keith seraya membungkus tubuh Stephen dengan selimut lalu dipeluknya dengan erat.
Tapi ternyata belum cukup, tiba-tiba, tubuh Stephen bergetar kuat.
    “O, o.. cepet ambil sendok buat nahan giginya.”
Ronan segera mengambil sendok seperti yang disuruhkan Keith.
Setelah mendapatkan sendoknya, Keith langusng memasukkannya ke dalam mulur Stephen. Ini untuk menghindari lidahnya agar tidak sampai tergigit,di saat dia ‘step’.
Tindakan terakhirnya, memberinya obat penurun panas. Mikey, Ronan, dan Shane menunggu dengan cemas reaksi, obat tersebut. Sementara Keith, masih tetap memeluk tubuh Stephen agar tetap hangat dan berusaha menahan guncangan tubuh Stephen.
    “Telepon mama?” usul Ronan.
    “Jangan, Ro. Telepon dia malam-malam begini bisa bikin dia kaget,” Mikey masih tetap menolaknya.
    “Tapi Steo?”
Mikey tidak menyahut, tetap berfokus pada Stephen.

Akhirnya perlahan-lahan, Stephen mulai tenang, tapi panasnya belum turun juga. Keith melepaskan pelukannya dan membiarkan Stephen bisa tidur dengan tenang.
Mereka semua benar-benar cemas dengan keadaan Stephen. Ini yang pertama kali sejak mereka tinggal berlima. Wajar mereka panik. Tapi untunglah, panas tubuh Stephen berangsur-angsur turun. Mereka langsung dapat bernafas lega.
    “Akhirnya turun juga,” Shane dengan lega, terus memandangi Stephen yang masih tertidur.
    “Kenapa dia sampai begitu?” Ronan terheran.
    “Dia kecapean banget, tapi dia nggak mau bilang dan tetep maksain buat latihan. Jadi gini deh,” sesal Mikey.
    “Stee…,” Keith duduk bersandar di samping Stephen seraya memandangnya.
Mereka berempat memandang Stephen dengan wajah cemas.
    “Biar gua temenin dia,” ucap Keith seraya menarik bantal untuk dirinya perlahan-lahan.
    “Gua juga,” sambung Ronan memilih tempat di sisi lain Stephen.
Mikey menghela nafas, lalu mengambil kursi panjang dan duduk di situ, sementara Shane, duduk dengan santai di kursi yang lain, tepat di samping tempat tidur. Mereka berempat tidak mau meninggalkan Stephen sedetik pun, dan karena saking kelelahannya, setelah panik dan ditambah dengan latihan tadi siang, mereka semua ikut tertidur.

Shane terjaga dengan suara yang mengganggu tidurnya. Ia melihat Stephen masih tertidur dengan tenang, dengan Ronan dan Keith disampingnya juga masih tertidur. Ia mencari sumber suara berisik itu.
    “Ah, ternyata…,” Shane geleng-geleng kepala setelah menemukan sumber suaranya. Tidak lain tidak bukan, berasal dari suara dengkuran Mikey yang lumayan keras. Heran, yang lainnya tidak sampai terbangun, dan bagaimana Keith bisa tahan tidur sekamar dengannya?
Tapi akhirnya ia diamkan saja. Bukankah yang lainnya tidak terganggu, hanya dirinya saja yang bangun? Ia pun berusaha kembali tidur.

            Stephen membuka mata dengan sangat lemah dan mendapatkan Ronan dan Keith di sisi-sisinya, juga Mikey dan Shane yang tertidur di kursi. Ia berusaha bangkit.
‘Aw’ ia menahan pusing dikepalanya yang tujuh keliling rasanya dan badannya lemas semua.
    “Ro, Keet…,” panggilnya lirih.
    “Huh?” sahut Keith masih dengan mata mengantuk. “Stee, loe udah bangun?” pekiknya girang.
Suara girang Keith membangunkan Mikey dan Shane. Mereka langsung menuju Stephen dan tidak dapat menahan kegirangan dan leganya melihat Stephen bangun.
    “Gimana perasaan loe?” Keith penuh perhatian.
    “Lemes banget.”
Mikey menyentuh kening Stephen begitu juga Keith, “Udah lumayan turun.”
   “Woy, Ro, bangun, Steo udah bangun nih,” Shane membangunkan Ronan.
Mata Ronan mengerjap-rejap 5 watt. “Steo udah bangun, bagus deh,” ia kembali menutup mata.
Buk. Shane menimpuk kepala Ronan dengan bantal.
    “Apaan, siih!” pekik Ronan kesal, dengan bangun dari tidurnya.
    “Pagi, Ro,” sapa Stephen lirih dengan tersenyum manis.
    “Pagi, Stee. … Lho, loe udah bangun Stee?” Ronan langsung sadar penuh begitu mendengar suara Stephen. “Elo udah nggak apa-apa, kan?”
Stephen menggeleng dengan tersenyum tipis.
    “Kalian semua tidur di sini?” Stephen hampir tidak percaya.
    “Dengan keadaan loe yang seperti tadi malam, mana berani kita ninggalin loe,” sahut Mikey.
    “Tadi malam, loe bener-bener bikin kita takut,” lanjut Ronan.
Stephen hanya tersenyum terharu.
    “Lain kali, kalau emang lagi nggak enak badan, jangan dipendem sendiri. Udah tau lagi sakit, masih maksain latihan. Gini deh jadinya,” ucap Shane cuek.
Stephen langsung cemberut. “Mama tau?”
Mikey menggeleng, “Nggak. Loe kangen mama, ya?”
    “Gua telepon mama, deh,” samber Ronan langsung.
    “Jangan, Ro, gua nggak pa-pa.”
    “Tapi masak, gua nggak boleh nelepon mama?”
    “Ya udah sana loe telepon mama, tapi jangan bilang Steo sak…,” belum sempat Keith menyelesaikan kalimatnya, Ronan sudah keluar menuju pesawat telepon, dan terdengar,
    “Ma, Steo sakit, ma!”
Mikey, Shane dan Keith cuma bisa menghela nafas pasrah dan gemas kesal, terlebih Stephen.
Tak lama kemudian Ronan kembali ke kamar.
    “Mama pengen ngomong sama loe,” seraya menyerahkan teleponnya pada Stephen.
Dengan terpaksa Stephen menerimanya.
Pluk, Shane memukul kepala Ronan, “Payah, loe!”
Ronan tidak mempedulikannya, dan memperhatikan Stephen dan Mikey yang berusaha menenangkan ibunya yang khawatir mendengar Stephen sakit. Dilanjutkan dengan suara Shane dan Keith yang juga ingin berbicara dengan ibu mereka bergantian.

‘Duh, betapa merepotkan tanpa mama dan Nanny.